Selasa, 25 November 2025

Kiriman Kue Ulang Tahun


Terlihat seorang laki-laki berada di balik pagar; di atas sepeda motor. Aku pikir, dia pengantar makanan pesananku. Ketika pagar kubuka, laki-laki itu, kita sebut saja Abang Kurir, langsung menyodorkan bungkusan di dalam kantong plastik. Kantong plastiknya bening sehingga aku bisa melihat isinya: kardus berbentuk persegi.
 
"Pesan kue ulang tahun, ya?"

Karuan saja aku menggeleng. Aku nggak pesan kue ulang tahun. Pesananku adalah satu porsi mie ayam pangsit bakso, lengkap dengan ekstra kuah. 

Abang Kurir menyebut nama. Nama si penerima. Nama yang disebut terdengar asing bagiku. Bukan nama tetangga kost-an, bukan nama-nama anggota keluarga Ibu Kost (setauku), bukan pula nama asisten rumah tangga Ibu Kost.
 
Aku tanya balik ke Abang Kurir, "Pengirimnya siapa?"
 
Abang Kurir menyebut sebuah nama. Nama seorang perempuan.
 
Lagi, aku bilang kalau nama yang dia sebut tidak ada di area rumah yang aku tempati.
 
Abang Kurir bersikukuh kalau alamat kirim sudah benar. Alamat tempat tinggalku disebutnya, detail hingga ke nomor RT dan RW. Untuk meyakinkanku, Abang Kurir tak segan menunjukkan bukti chat-nya dengan si pengirim kue. Dan si pengirim kue membenarkan alamat kirim termasuk mengiyakan bahwa foto pagar rumah yang kutinggali itu merupakan rumah si penerima kue ulang tahun.
 
Kok aneh? 
 
Aku menoleh ke belakang, kali aja ada tetangga kost keluar dan ternyata dialah orang yang dimaksud Abang Kurir. 

Nihil. 
 
Tidak ada seorang pun melewati pintu dan mendatangi Abang Kurir.  
 
Tak lama kemudian, Abang Kurir bilang kalau si penerima kue ulang tahun belum balas chat dari si pengirim kue.  
 
Ndilalah makanan pesananku sudah datang. Abang Kurir masih bertahan di depan pagar. Katanya, nggak apa-apa nungguin kabar dari pengirim dan penerima kue. Aku pun masuk rumah.
 
Pintu pagar kukunci. 
 
Dari balik jendela, aku lihat Abang Kurir masih stay di tempatnya. Tidak ada tanda-tanda pergerakan. Penasaran, siapakah penerima kue ulang tahun itu? Apakah si penerima masih keluarga Ibu Kost? Atau orang lain yang sengaja pakai alamat kostan untuk titik antar; sekadar titik antar biar kurir nggak nyasar?
 
Aku tidak tahu kelanjutannya. Keburu lapar he-he-he...
 
Aku teringat makanan misterius yang tergantung di pagar kostan. Paket makanannya masih hangat, isinya kayak nasi padang, dibungkus plastik kresek warna putih, lengkap dengan nota. Yang mengherankan adalah kenapa makanan itu cuma dicantol di pagar? Apakah kurirnya harus segera mengantar ke tempat lain sehingga buru-buru banget? Apakah kurir sudah panggil berkali-kali, tapi nggak ada respons? Aku nggak bisa cek siapa yang order lantaran nota ada di dalam plastik kresek. Akan jadi kesalahanku kalau aku membuka kresek makanan tersebut. Jadi, selama 2025, aku telah mengalami kasus makanan misterius sebanyak dua kali.
 
Aku pikir, ada untungnya kue itu tidak kuterima. Ada untungnya aku gak terlalu helpful. Berisiko kalau menerima kue dari orang yang nggak jelas penerima dan pengirimnya. Takutnya malah mencelakakan diri sendiri dan orang-orang di sekitarku. 

Mudah-mudahan kue itu benar dikirim untuk penerima yang ulang tahun, biar yang ulang tahun merasa happy, bukan malah terancam keselamatan dan terganggu kesehatannya.[]

Kamis, 20 November 2025

14 November, 4 Tahun Silam



Putar balik peristiwa 4 tahun silam...
 
14 November 2021
 
Sekarang hari Minggu. Usai semalaman berada di dalam kereta api, duduk di kursi yang dapat sebutan "kursi jomblo", menikmati suara kereta yang seksi di telinga, aku tiba di Jakarta.
 
Adalah Stasiun Gambir yang kutapaki pertama kali sebagai perantau.
 
Perasaanku masih sama. Campur aduk. Tapi, hidup harus berubah. Aku sungguh-sungguh ingin mengubah nasib. Aku pengin punya penghasilan sendiri. Aku ingin mewujudkan cita-cita-citaku. Cita-cita yang bisa terwujud kalau aku punya duit. Tidak mungkin aku mengandalkan pemberian dari saudara.
 
Cintaku kepada Yogyakarta tidak akan pernah luntur. Aku sangat berterima kasih kepada Yogyakarta yang telah melahirkanku, merawatku, memberiku ruang tumbuh yang sederhana-alami-apa adanya sejak masa kanak-kanak hingga dewasa sekaligus menempaku lewat badai yang satu demi satu menerjang hidupku. 
 
Pemandangan yang kutemui di pagi, masih muka bantal sisa tidur-tidur ayam, adalah orang-orang bersepeda. Ada yang bersepeda sendirian, ada yang berkelompok. Tidak banyak ternyata yang mampu kurekam. Aku masih tidak percaya dengan perubahan hidupku mulai hari ini hingga hari-hari berikutnya.
 
Sahabat karib yang menjemputku mengajak mampir sarapan. Bubur ayam Cikini jadi tujuan kami. Bisa dikata aku bukan manusia yang wajib sarapan. Namun, sebagai sebentuk penyambutan, aku mengiyakan ajakan sahabatku. Mari kita ikuti tradisi sarapan orang Jakarta: bubur ayam.
 
Bubur Ayam Cikini sudah ramai. Suara manusia dengan beragam topik pembicaraan nyampur di udara. Kedengaran seperti dengung yang sulit ditangkap isinya. Di lantai 1, orang-orang berhari Minggu dengan olah raga dan sarapan bubur ayam (atau dibalik). Kami memilih makan di lantai 2. 

Ada tempat duduk di ujung ruang, sebelah jendela kaca. Cukup untuk berdua. Jendela kaca itu mengantar segenap pandangku ke arah beton layang sebagai jalur kereta api jarak jauh yang masuk ke atau keluar dari Stasiun Gambir maupun KRL Jabodetabek yang melintas jalur Stasiun Cikini dan Stasiun Gondangdia. 
 
Baru bertama kali mencicipi bubur ayam Cikini ditambah masih jet lag ditambah nggak terbiasa sarapan di jam sepagi itu, bikin aku kurang semangat melihat-lihat menu. Cari praktis, aku ikut pesanan sahabatku saja. Kami pun pesan bubur ayam varian dan porsi yang sama. 

Sebagai pelengkap, sahabatku menawari pesan martabak. Lagi-lagi aku ngikut aja, kali ini disertai syarat, martabaknya buat berdua, biar nggak kebanyakan. Aku nikmati sarapan perdana sebagai perantau hingga tandas meskipun aneka rasa menggayut di diriku.
 
Ibu kost menyambutku di halaman rumahnya. Dia bersama seorang gadis mungil (mungkin umurnya  sekitar 3 tahun) yang kukenali kemudian sebagai anak pertamanya. Ibu kost yang masih muda itu mempersilakan temanku mengantar sampai ke kamar yang berada di lantai 2. Kost-an terlihat baru, kamar tampak baru dan bersih, kost-an satu halaman dengan rumah pemilik kost-an, jumlah kamar hanya ada 4.
 
Barang bawaanku sudah masuk kamar semuanya. Bagasi belakang mobil sahabatku sudah kosong. Giliran sahabatku pamit. Sekejap, tinggal aku seorang diri di kamar. Bingung mau ngapain. Suasana kost-an sepi. Entah lagi ngapain tetanggaku. Aku merasa canggung. 
 
Nihil pengalaman nge-kost bikin aku tidak punya persiapan apapun. Masuk kost-an pun aku nggak bawa makanan dan minuman untuk nyetok di kamar. Betul-betul cuma bawa barang dari rumah. Beruntung, fasilitas kost-an tidak perlu membuatku tidur di lantai beralas ubin. 
 
Dengan harga sewa per bulan di atas sejuta, aku sudah dapat fasilitas yang menuruku lebih dari cukup untuk mengawali hidup baru di tanah rantau: tempat tidur single, kasur springbed lengkap dengan satu bantal, satu set sepreisarung bantal sebiji, selimut bedcover dengan motif senada, meja belajar, kursi, lemari pakaian single, AC, cermin seukuran badan serta Wifi. 
 
Di luar kamar, ada keset yang menurutku bagus kualitasnya. Terdapat pula gantungan pakaian yang terbuat dari besi dengan kualitas yang bagus. Kamar yang mungil, kamar mandi di luar, dapur bersama tetap menjadikan kost-an ini baik adanya di mataku. 
 
Ibu Kost menawariku menjemur pakaian di area rumahnya. Tawaran itu terpaksa tidak kugunakan. Aku nggak enak menjemur pakaian di rumah orang. Tidak terbiasa... 
 
Besok Senin, 15 November 2021, akan jadi hari pertamaku bekerja, nih! Apa yang akan terjadi? Oh iya, kamu, yang baca blog ini, cerita dong hari pertamamu bekerja. Dan, apakah sampai hari ini kamu masih bekerja di tempat pertama kali bekerja atau sudah pindah?[]
 

15 November, 4 Tahun Rupanya...



Senin, 15 November 2021 datang juga...
 
Secara khusus aku tidak menunggu datangnya 15 November, tapi hari pertama bekerja itulah yang jadi penantianku sekian lama. 
 
Pengalamanku mengatakan bahwa mencari pekerjaan tidaklah semudah yang orang lain alami. Usaha juga doa tak putus dilakukan. Berkali jatuh, berkali pula berusaha bangkit, terus menyemangati diri, tak henti menanamkan keyakinan pada diri sendiri bahwa suatu saat akan datang jatahku. Jalan hidup baru mengantarkanku usai lamanya waktu menguji kesabaran dan keikhlasanku.

Selamat Pagi, Dunia (Kerja)! 

Jam kerjaku dimulai jam 7.00. Tidak masalah buat aku yang sudah terbiasa bangun pagi. Yang jadi masalah adalah kenapa aku malah deg-degan? Aku takut melakukan kesalahan di hari pertama bekerja. Aku takut nggak bisa kerja. Aku dihinggapi khawatir tidak mampu menyesuaikan diri. Bayangan tentang karakteristik pekerja di Jakarta menakutiku. Seperti apakah rekan kerjaku nanti? Apakah mereka orang-orang baik? Apakah mereka akan menerima aku sebagai partner kerja?
 
Bersyukur aku dapat kost-an yang dekat dengan tempat kerja. Cukup jalan kaki sekitar 7 menit. Sepeda motor tetap berada di kampung halaman. Biar motor dipakai orang rumah untuk segala keperluan mereka. Aku? Seperti kebiasaanku, aku tidak terbiasa motoran. Tidak masalah kalau di Jakarta pun aku tidak bermotor lebih dulu. 
 
Menyambut hari baru, aku berjalan melintasi setapak permukiman penduduk ibukota. Di kanan dan kiriku berimpitan bangunan rumah. Kebanyakan adalah bangunan bertingkat mengingat keterbatasan lahan dan mahalnya harga tanah di Jakarta. Identitas Jakarta terpampang nyata: jalanan ber"ranjau", air got tampak tidak mengalir, kucing berseliweran, dan minimnya standar higienitas rumah tangga. 

Teman berjalanku adalah orang-orang yang harus bekerja atau berangkat kerja di pagi hari. Tampaknya anak-anak sekolah masih sekolah online, karena saat itu risiko penularan Covid di Jakarta terhitung tinggi. Lainnya adalah mereka yang beraktivitas pagi seperti beli sarapan atau jalan ke warung.

Langsung Nyasar... 

Aku berhadapan dengan risiko menerjang badai Covid-19 dari kampung halaman menuju rantau. Namun, menunggu Covid-19 hengkang dari bumi sama halnya membiarkan ketidakpastian. Bagaimana aku bisa berkembang? Bagaimana dengan rencanaku?
 
Di depanku ada pertigaan. Aku harus belok kanan atau terus lurus? Jalan lurus terlihat menyempit sedangkan kalau belok kanan, kelihatan ada jalan yang lebih lebar. Gerak hati membawaku belok ke kanan. 
 
Justru aku memilih jalan yang salah! Sebetulnya nggak salah-salah amat. Tetap bisa sampai tujuan, tapi lewat jalan raya. Dan aku tidak tahu rute tercepat ke tempat kerjaku kalau lewat jalan raya. Sementara aku kebingungan dan khawatir terlambat, jam terus bergerak maju. Waktu sangat tidak bermurah hati kepadaku. 
 
Aku menyeberang jalan dan berhenti di depan minimarket. Celingak-celinguk. Ini tempat apa? Aku berusaha cek di map, tapi aku belum paham daerah tersebut. Di depan minimarket, aku berpikir, tempat kerjaku ke kanan atau ke kiri? Terpikir untuk menghentikan angkot atau naik ojol. Namun, sebelum aku menghentikan angkot atau order ojol, aku mendadak ingat sesuatu: kenapa nggak telpon temanku saja?

Penolong Datang! 

Tuhan mengirimkan temanku di tempat aku kebingungan sekaligus udah mau nangis gara-gara dikit lagi terlambat. Pertolongan Tuhan dan pertolongan temanku datang di saat yang sungguh tepat. Tak terbayang nasibku di hari pertama kerja. Aku tidak mau membuat catatan buruk sejak hari pertama kerja.
 
Temanku memboncengkan aku menuju tempat kerjaku. Sepanjang jalan, otakku berbagi tugas: komat-kamit baca doa jangan sampai terlambat dan menghapal jalan supaya kejadian serupa tidak terulang.
 
Rupanya saat itu aku sudah setengah jalan. Tapi, kalau jalan kaki pun bakalan terlambat, karena harus memutar lewat perumahan. Gerbang terdekat, tak jauh dari sekolahan, masih tertutup rapat, karena sekolah masih online. Kata temanku, biasanya pagar (baca: gerbang)nya dibuka.
 
Sampai di tempat kerja, aku bertemu dengan seorang staf laki-laki. Atasan memberi mandat kepadanya untuk mendampingi aku di hari pertama masuk kerja. Pertama, aku diberi orientasi singkat mengenai tempat kerjaku. Kedua, aku diajak keliling lingkungan kerja, dikenalkan ke semua karyawan. Ketiga, dia mengantarku ke unit kerja penempatan.
 
Menandai 4 tahun hari pertamaku di "sana", kuberucap, "Terima kasih semesta, untuk semua orang baik yang kujumpai, para penolong yang tiada pamrih, segala hal baik yang boleh jadi pengalaman bernilai serta memori baik yang membawaku mendewasa..."[]
 
 

Selasa, 18 November 2025

13 November, 4 Tahun yang Lalu


 
13 November 2021 jadi tanggal penting dalam seluruh hidupku. Mungkin Tuhan, berkolaborasi dengan semesta, telah merencanakan tanggal 13 November 2021 dalam sejarah hidupku. Akan tetapi, aku baru tahu ketika tanggal itu ada di tahun 2021.
 
13 November
 
Aku sudah selesai berkemas meskipun koper-satu-satunya koper-belum kukunci. Harusnya barang yang dibawa melebihi yang ada di depan mataku. Namun, keterbatasan ruang, sarana, tenaga juga biaya pindahan memaksa aku mengerem keinginanku membawa barang-barang pribadiku. 
 
Aku bisa mengambil barang-barang yang masih tertinggal ketika aku mudik. Ya, aku berencana akan mudik beberapa waktu setelah aku kerja di Jakarta. Apalagi bulan depan, kan, Natal dan Tahun Baru. Aku sudah gajian sehingga aku bisa beli tiket kereta, mudik, jajan bareng keluarga, ngasih uang saku buat keluarga. 

Jalan hidup rupanya membolak-balik rencana yang disusun oleh manusia. Sebuah peristiwa membuat aku berpikir bahwa rumah tak lagi sama. Rencana mentraktir keluarga dengan gaji pertama tidak pernah terjadi. Mudik? 
 
Tak lupa aku mengangkut buku-buku pribadiku. Inginku, aku tetap rajin menulis meskipun sudah aktif bekerja dari hari Senin hingga Jumat. Pikirku lagi, aku bakalan bisa menulis usai jam kerja dan week-end ketika kantor libur. Ternyata, pulang kerja aku malah ngider keliling Jakarta bersama temanku. Week-end pun sama, ngider Jakarta menemui hal baru. Nulis kalau benar-bentar punya intensi khusus atau lagi mood.
 
Aku berangkat ke Jakarta pakai kereta api eksekutif paling lama. Kereta tambahan. Bukan karena banyak duit (malah modalku tipis banget), tapi karena bawaanku banyak, koperku gede. Kalau naik kereta kelas premium, aku khawatir koperku nggak muat diletakkan di bagasi atas. 

Andaikata muat diletakkan di bagasi atas, kasian porter yang angkat ke atas karena berat banget. Pun, aku sengaja pilih kursi single biar gak usah naro koper ke atas. Barang bawaan bisa ditaro di depan kursiku persis. Pas turun, aku bisa tektokan sama porter.
 
Jelang berangkat, terjadi drama. Aku kesulitan mendapat taksi. Sampai-sampai, aku jalan ke muka gang demi nyetop taksi langsung. Kalau ketinggalan kereta, bisa-bisa aku keluar duit lagi. Gaji belum di tangan masa udah boncos duluan? Rasanya panik, takut ketinggalan kereta.

Dekat rumahku ada hotel bintang 4. Biasanya di depan hotel ada taksi nongkrong atau abis ngedrop tamu. Bermenit-menit menunggu, aku tak kunjung berhasil mendapatkan transportasi ke stasiun. Di sisi lain, jam terus bergerak menuju waktu keberangkatan yakni jam 11-an malam.
  
Hingga akhirnya...
 
Pamit sama wowo. Saat itu Wowo udah sakit-sakitan. Aku bilang sama Wowo ntar gajiku bisa buat keluarga, bisa buat jajanin Wowo. Wowo bilang gak usah pikirin gaji buat keluarga atau buat jajanin keluarga. Yang penting aku bisa kerja. Kurang lebih Wowo bilang begitu. 

Sedihnya, hanya 2 minggu berselang setelah aku berangkat ke Jakarta, Wowo meninggal. KFC Percetakan Negara jadi saksi air mataku tumpah, galau membuncah antara pengen pulang atau stay di Jakarta. Campur aduk perasaanku saat itu. Bersyukur aku ditemani seseorang malam itu. 
 
Ada unsur denial ketika aku memilih untuk tidak pulang. Tapi selama jam kerja, pikiranku kebagi dengan rumah. Cek grup yang mengabarkan situasi Wowo sudah dibawa pulang ke rumah, Wowo disemayamkan di teras karena petinya nggak muat masuk pintu utama, dan foto-foto pemakaman Wowo. Melihat foto Wowo pas di IGD dengan kondisi seperti "itu" bikin aku nangis. 
 
Di tahun-tahun akhir hidup Wowo, aku kerap berseberangan sama Wowo. Mungkin aku stres juga sehingga kebawa ke perilaku. Namun, ada omonganku yang konsisten mengatakan gimana-gimana Wowo punya peran besar dalam hidupku. Wowo yang jaga aku di rumah selama orang tuaku kerja. Wowo yang jemput aku sekolah. 

Wowo, ketika belum musim read aloud, udah read aloud duluan buat aku sehingga aku tidak menemui kesulitan membaca teks dan suka baca buku. Bersama Wowo, kami belanja bulanan dan jajan pempek Ny. Kamto di samping Ramai Mall. Wowo adalah guru kebersihan. Wowo juga koki terdebest yang mampu menghasilkan masakan rumah enak dibanding ibuku; yang akhirnya bikin aku susah adaptasi lidah sama menu rumahan di Jakarta. Banyaklah yang udah Wowo lakukan buat keluarga...
 
Malam itu Yogyakarta bagian Kota rintik hujan. Tanah basah. Kampungku sepi di saat aku mau berangkat ke Jakarta. Orang-orang memilih di dalam rumah. Akhirnya aku nemu becak. Pak Becak kugiring ke rumah, kunaikkan barang-barangku ke becak. Sedangkan aku diantar adikku naik motor.
 


Porter Membantuku Membawa Bawaan Merantau
 

Perjalanan dari rumah menuju stasiun terasa lama. Aku nggak bisa mendeskripsikan perasaanku. Langkahku perlahan tapi pasti menjauh dari rumah. Di satu sisi, inilah saat yang kutunggu, tapi saat yang kutolak sekaligus. Aku senang berada di rumah dengan apa adanya diriku, hidupku. Namun, aku juga menginginkan hidupku berubah. Aku menolak segala bentuk kegagalan dan kesia-siaan.  
 
Hanya ada Wowo di rumah. Sendiri. Ibu sudah tidak ada. Aku cuma bisa pamit dalam hati. Semoga Ibu memberiku restu. Aku ingin sebuah kebaikan. Aku menginginkan kemerdekaan. Aku mengharap pencapaian setidaknya buat diriku sendiri.[]
 

Sabtu, 08 November 2025

Nggak Ngajak Ngobrol

 

 
"Pak, patokannya Burger King, ya..."
 
Jangan sampai terlewat. Memang, jika terlewat pun sebetulnya masih ada jalan tembus menuju Salemba Tengah. Tapi jauh lebih baik jika tidak perlu terlewat, bukan?
 
Tiba-tiba sopir taksi minta maaf padaku.
 
Lho? 
 
Aku, yang melamun sembari melihat pemandangan di balik kaca mobil, tergagap. Kata-kata yang diucapkan sopir taksi tiada satu pun tercerna. Kelewat semuanya. Hanya suara yang kutangkap. 
 
Orang lagi melamun, kok, diajak ngobrol. Bukan salah sopirnya, sih, he-he-he.
 
"Apa?" tanyaku kemudian.
 
Sopir mengatakan kalau dia minta maaf, karena mendiamkan aku sepanjang jalan. Ketika dia mengucap kalimat maaf, laju kendaraan sudah sampai di sekitar Kenari; tak lama lagi sampai di tujuan. Lanjutnya, dia bilang bahwa tidak terbiasa mengajak ngobrol penumpang.
 
Tidak masalah bagiku. Malah, aku merasa tidak nyaman kalau sopir bawel, brisik, apalagi ngobrolin hal yang menurutku nggak penting. Lebih enak kalau masing-masing saja. Sopir dengan tugas dan tanggung jawab mengantar penumpang dan saya dengan hidup dan urusan saya dari titik jemput hingga lokasi antar. Kalau ada yang perlu disampaikan, pasti akan saya sampaikan. Toh, misalkan jalannya tidak sesuai rute dan tanpa persetujuan dari saya, pasti saya bakalan ngomong.
 
Permintaan maaf sopir membawa pada suatu pengakuan, bahwa dia adalah mantan sopir ambulans Puskesmas sebelum menjadi sopir taksi online
 
Hmmm... Selama jadi pengguna taksi online di Jakarta, baru kali ini disopiri mantan sopir ambulans. Tak disangka. Sepanjang jalan, sopir membawa kendaraan biasa aja; tidak menampakkan tanda bahwa dia pernah menjadi sopir ambulans. Smooth aja nyetirnya. Nggak ngebut layaknya sopir ambulans yang kulihat di jalanan.

 
Nikmatnya Melamun di dalam Taksi di Tengah Hujan Kayak Begini 

 
Telanjur terjadi pembicaraan, sekalianlah aku pengen tahu soal etika mobil ambulans. Aji mumpung juga karena pertanyaannya ditujukan kepada orang yang tepat. Jadilah pertanyaan perdana meluncur dari mulutku, yakni aturan menyalakan sirene dan lampu rotator.
 
Ketika aku menjadi pengguna jalan (dan Anda tentunya), pasti punya pengalaman berbagi jalan dengan ambulans. Otomatis, kalau kita berada satu jalur dengan ambulans, kita akan membukakan jalan, mempersilakan ambulans jalan mendahului. Ternyata, mobil ambulans tidak harus selalu menyalakan dan membunyikan rotator sekaligus.
 
Pengetahuan soal menyalakan sirene dan membunyikan rotator sekaligus aku peroleh waktu nonton sebuah tayangan horor di Youtube. Narasumber tayangan horor tersebut adalah seorang sopir ambulans. Dan sesuai genre channel Youtube tersebut, materi wawancaranya seputar pengalaman horor yang langsung dialami oleh si sopir.
 
Si sopir, dalam petikan wawancaranya, mengatakan kalau penggunaan sirene dan rotator ada aturannya. Sirene dan rotator menyala kalau membawa pasien gawat darurat sedangkan kalau membawa jenazah, sirene tidak perlu dinyalakan, karena sifatnya sudah tidak mendesak. 
 
Sambungnya, kalau mau pakai rotator, cukup lampunya saja tanpa suara sirene. Penjelasan sopir ambulans cocok sama pengetahuan yang dibagikan oleh ibuku. Ibu pernah bilang, kalau hanya menyalakan lampu tanpa bunyi sirene, ambulans tersebut membawa jenazah.
 
Beralih ke penggunaan rotator dan sirene menurut versi sopir taksi online-ku. Sopir taksi tersebut mengatakan kalau bawa jenazah tapi ambulan mengaktifkan sirene dan rotator, semata karena mengikuti kebiasaan. 

Supir taksi online tak hanya membagikan pengetahuan tentang etika pemakaian rotator dan sirene, tetapi juga pengetahuan bahwa sopir ambulans dibekali skill Bantuan Hidup Dasar (BHD) untuk membantu pasien selama berada di dalam ambulans yang dikemudikannya. Tak hanya skill BHD, aku juga diberitahu kalau proses transfer pasien ke rumah sakit rujukan tidak bisa asal pindah. 

Misalnya ada seorang pasien di Puskesmas butuh dirujuk ke rumah sakit. Puskesmas akan menghubungi beberapa rumah sakit sekaligus. Rumah sakit pertama yang merespons kontak dari Puskesmas itulah yang akan jadi rumah sakit rujukan. Setelah memperoleh rumah sakit rujukan pun, masih ada proses demi proses hingga akhirnya pasien pindah ke rumah sakit rujukan lalu memperoleh tindakan. 
 
Pengalaman berkesan tak luput dibagikan. Supir taksi pernah membantu proses persalinan seorang ibu dan menjadi saksi pasien yang tidak tertolong. Bisa jadi cerita terus berlanjut kalau perjalanan masih sekian kilometer lagi. Sayangnya, cerita terpaksa terhenti karena aku sudah sampai di tujuan. Sebuah malam yang bermakna di mata seorang perantau di Jakarta...[]