Rabu, 28
Juli 2021. Jam menunjukkan pukul 01.07. Terdengar raungan sirine ambulans
memenuhi ruang udara dini hari yang sepi. Pikiran curiga menyeruak, “Jangan-jangan
pasien Covid-19 lagi….” Saya menghela napas. Lelah mendengar suara sirine
ambulans, yang hampir setiap hari lalu lalang di jalanan Kota Yogyakarta.
Bahkan, lepas tengah malam pun suaranya masih ada.
Apakah
saya terbangun gara-gara mendengar raungan sirine ambulans? Saya malahan belum
tidur. Padahal, mata saya sudah meredup. Ngantuk dan lelah raga. Namun, pikiran
saya masih terbang ke mana-mana. Ingin rasanya bisa tidur nyenyak supaya bangun
pagi dengan kondisi bugar dan penuh semangat, tanpa Covid-19 merajalela.
Kenyataannya,
jiwa dan raga masih saja melihat foto-foto bertema Covid-19 tersebar vulgar di
mana-mana sebagai ilustrasi berita: lorong rumah sakit yang penuh, pasien yang
antre di muka IGD, lahan pekuburan yang masih menganga dengan peti mati yang
tertutup sempurna, jasad terbungkus kantong kedap udara, barisan mobil jenazah
yang menunggu giliran memakamkan atau foto close up manusia mengenakan
alat bantu napas.
Belum
lagi ruang publik dipenuhi keluhan manusia soal perburuan vaksinasi, kabar
mengenai PPKM yang terus diperpanjang serta data kasus covid yang meninggi dari
hari ke hari. Aneka informasi soal terapi isolasi mandiri juga melengkapi
berita-berita kurang enak dibaca, seperti kabar terjadinya krisis oksigen di
masyarakat. Seakan belum cukup, nyaris tiap hari, kuping kita juga dijejali
kabar duka dari pelantang masjid, status Whatsapp dan media sosial orang
yang kita kenal. Benar-benar membuat susah tidur.
Mental Breakdown
Disadari
atau tidak, segala rupa dan warta mengenai Covid-19 sama ganas dengan virusnya
sendiri. Alih-alih membukakan mata, budi, dan hati terhadap ancaman Covid-19,
berbagai foto dan info itu layaknya virus yang khusus menggerogoti pikiran dan
mental, sebelum Covid-19 itu sendiri menyerang sistem pertahanan tubuh
masyarakat. Kesehatan mental semakin terganggu karena masifnya paparan
informasi dengan validitas yang kabur akibat tercampur aduknya fakta dengan
hoaks.
Bisa
jadi bukan hanya saya yang mengalami susah tidur karena pikiran dibanjiri
segala sesuatu mengenai Covid-19. Nyatanya, Kompas (11/7/2021) merilis
hasil riset daring Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang menunjukkan
turunnya daya tahan psikis masyarakat setelah dihantam “peristiwa emosional
yang signifikan” (hlm. 1). Penurunan daya tahan psikis itu dialami sebagian
besar dari 5.817 responden riset yang dilakukan 26 Mei-2 Juni 2021 itu.
Kesulitan
hidup akibat Covid-19, tak pelak lagi, menjadi salah satu pendorong peristiwa
emosional yang signifikan. Pandemi Covid-19 sungguh-sungguh berdampak terhadap
kesehatan mental masyarakat. WHO (2020) menggunakan istilah ‘kelelahan pandemik’
(pandemic fatigue) untuk menggambarkan hilangnya motivasi orang
untuk melakukan sesuatu yang dapat melindunginya. Tanda-tanda kelelahan pandemik
ini antara lain, tidak lagi peduli pada himbauan untuk mencuci tangan dan
mengenakan masker atau menurunnya usaha untuk mencari informasi soal Covid-19.
Kelelahan
pandemik bisa mengiringi terjadinya ‘gangguan mental’ (mental breakdown)
pada masa pandemi Covid-19. Mengutip Ho et al. (2020), Roy et al. (2020)
mengatakan bahwa gangguan mental dipicu oleh rasa takut jatuh sakit atau hampir
mati. Kalau sudah sampai mengalami gangguan mental, orang-orang bukan hanya
sulit tidur; mereka bahkan bisa melakukan diskriminasi terhadap siapapun yang
dianggap menularkan Covid-19.
Sekarang,
bayangkan betapa Covid-19 bisa mengancam persatuan Indonesia! Covid-19 dapat
memunculkan rasa khawatir, depresi, malu, takut, frustrasi, bosan, cemas,
panik, mass hysteria, stres, sedih yang mampu menjadikan masyarakat
mengalami gangguan mental. Jika gangguan mental itu menguasai masyarakat sampai
ke tahap diskriminasi, sangat mudahlah Indonesia dipecah-belah.
Pilah Pilih Tekanan
Kesehatan
mental seseorang tergantung dari caranya melihat dan menanggapi suatu hal.
Manusia memiliki caranya masing-masing dalam merespons peristiwa. Pun, setiap
manusia memiliki batasan yang berbeda dalam menerima tantangan dunia luar,
terlebih yang datang secara tiba-tiba dan bertubi-tubi. Benar, pada akhirnya,
masing-masing juga-lah yang memegang kendali
atas segala sesuatu yang hendak masuk ke dalam diri.
Manusiawi
jika kita ingin merdeka dari pandemi. Hampir dua tahun bergelut dengan pandemi,
tubuh saya telah merespons banyak hal. Selain saya, tersebutlah orang-orang
yang berada di lingkaran persaudaraan hingga pertemanan. Karena melihat
masing-masing dari merekalah saya mampu menuliskan kalimat pada paragraf
sebelumnya.
Bagi
saya, tindakan mereka untuk merespons krisis seperti hiatus, mengurangi
aktivitas di media sosial, memasang tulisan “stop menyebarkan info Covid-19”
sebagai foto profil di WhatsApp, mematikan akun media sosial, secara
sengaja mute postingan Covid-19 di media sosial tertentu, sama sekali
tidak salah. Bahkan ketika ada yang bertahan tidak membagikan informasi donor
konvalesen sekalipun, hal itu tidak akan mematikan kemanusiaan mereka. Manusia
berhak memilah dan memilih segala sesuatu yang berpotensi jadi sumber tekanan
mentalnya.
Sayangnya,
saya tidak bisa mengikuti jejak orang-orang untuk hibernasi dari media sosial,
karena masih membutuhkan media sosial sebagai sarana mengais rezeki dan
mendulang ilmu. Yang bisa saya lakukan adalah praktik resiliensi ala saya: mendayagunakan kemampuan memilah
konten, belajar beradaptasi, dan berusaha menerima hal-hal
yang berada di luar kendali.
Tumbuh sebagai Manusia Tangguh
Lepas
dari hibernasi media sosial yang sebagian orang lakukan, saya jadi
bertanya-tanya: apakah membagikan info soal Covid-19 itu memperkuat bangsa ini?
Apakah memang membuat bangsa ini menjadi lebih tangguh? Atau, justru sebenarnya
info yang berseliweran itu melemahkan masyarakat, membuat imun bangsa ini
turun? Lalu, apa yang dapat membuat bangsa ini lebih kuat? Apa yang membuat
setiap elemen bangsa ini bisa bangkit lagi?
Menurut
saya, membanjiri masyarakat dengan berbagai info soal Covid-19 bukanlah
tindakan bijak. Suara sirine ambulans saja saat ini sudah membuat orang-orang
cemas, padahal belum tentu isinya adalah pasien Covid-19. Begitu juga ketika
ada berita duka, baik yang melalui corong masjid maupun media sosial,
orang-orang langsung menduga-duga penyebab meninggalnya.
Mental
masyarakat akan semakin terpuruk bila dijejali dengan info simpang siur soal
vaksinasi, dan kebijakan PPKM, serta peningkatan jumlah pasien positif
Covid-19. Sementara itu, mereka masih bergulat dengan kesulitan ekonomi, yang
tidak kalah menyesakkan. Langkah-langkah praktis, menurut saya, harus dilakukan
dengan lebih memperhatikan mental masyarakat. Alasannya adalah, dengan sedikit
memodifikasi slogan yang sudah populer, mens sana corpus sanum parat (pikiran/mental
yang sehat mempersiapkan tubuh yang sehat).
Praktik-praktik
perlindungan diri yang sudah saya ceritakan sebelumnya merupakan langkah awal
yang bersifat personal. Akan tetapi, membentuk masyarakat tangguh bukan hanya
tugas pribadi. Perkara kesehatan mental harus ditanggapi lebih lanjut, secara
serius, dan ditangani bersama untuk membentuk ketahanan masyarakat. Usaha untuk
hanya menyebarkan info dan kebijakan yang jelas dan terukur dapat membantu
pembentukan masyarakat yang tangguh. Syukur-syukur bila infonya menggembirakan
dan menguatkan harapan, seperti berita kemenangan atlet Indonesia di Olimpiade
Tokyo yang baru saja berlalu.
Harapan
saya sesungguhnya sederhana, kok, yakni bisa bangun pagi dengan jiwa raga yang
sehat, bertemu dengan para anggota keluarga, ngobrol santai dengan
teman-teman sambil menyeruput kopi dan menggigit donat, keluar rumah dengan
leluasa, dan berkarya seturut angin menggandeng tangan saya. Seandainya semua
itu belum bisa saya dapatkan di dalam dunia bebas Covid-19, setidaknya saya
bisa merasakan energi itu di dalam masyarakat Indonesia yang tangguh, yang bahu
membahu ingin bangkit dari keterpurukan.[]
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Pembuatan Konten Media Sosial dalam rangka Memperingati HUT RI ke-76 dengan tema Merdeka dari Pandemi: Bersatu dalam Keberagaman untuk Indonesia Bangkit yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY”.