Jumat, 13 Agustus 2021

Tumbuh Menjadi Manusia Tangguh di Masa Pandemi


Rabu, 28 Juli 2021. Jam menunjukkan pukul 01.07. Terdengar raungan sirine ambulans memenuhi ruang udara dini hari yang sepi. Pikiran curiga menyeruak, “Jangan-jangan pasien Covid-19 lagi….” Saya menghela napas. Lelah mendengar suara sirine ambulans, yang hampir setiap hari lalu lalang di jalanan Kota Yogyakarta. Bahkan, lepas tengah malam pun suaranya masih ada.

Apakah saya terbangun gara-gara mendengar raungan sirine ambulans? Saya malahan belum tidur. Padahal, mata saya sudah meredup. Ngantuk dan lelah raga. Namun, pikiran saya masih terbang ke mana-mana. Ingin rasanya bisa tidur nyenyak supaya bangun pagi dengan kondisi bugar dan penuh semangat, tanpa Covid-19 merajalela.


Kenyataannya, jiwa dan raga masih saja melihat foto-foto bertema Covid-19 tersebar vulgar di mana-mana sebagai ilustrasi berita: lorong rumah sakit yang penuh, pasien yang antre di muka IGD, lahan pekuburan yang masih menganga dengan peti mati yang tertutup sempurna, jasad terbungkus kantong kedap udara, barisan mobil jenazah yang menunggu giliran memakamkan atau foto close up manusia mengenakan alat bantu napas.


Belum lagi ruang publik dipenuhi keluhan manusia soal perburuan vaksinasi, kabar mengenai PPKM yang terus diperpanjang serta data kasus covid yang meninggi dari hari ke hari. Aneka informasi soal terapi isolasi mandiri juga melengkapi berita-berita kurang enak dibaca, seperti kabar terjadinya krisis oksigen di masyarakat. Seakan belum cukup, nyaris tiap hari, kuping kita juga dijejali kabar duka dari pelantang masjid, status Whatsapp dan media sosial orang yang kita kenal. Benar-benar membuat susah tidur.

Mental Breakdown

Disadari atau tidak, segala rupa dan warta mengenai Covid-19 sama ganas dengan virusnya sendiri. Alih-alih membukakan mata, budi, dan hati terhadap ancaman Covid-19, berbagai foto dan info itu layaknya virus yang khusus menggerogoti pikiran dan mental, sebelum Covid-19 itu sendiri menyerang sistem pertahanan tubuh masyarakat. Kesehatan mental semakin terganggu karena masifnya paparan informasi dengan validitas yang kabur akibat tercampur aduknya fakta dengan hoaks.

Bisa jadi bukan hanya saya yang mengalami susah tidur karena pikiran dibanjiri segala sesuatu mengenai Covid-19. Nyatanya, Kompas (11/7/2021) merilis hasil riset daring Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang menunjukkan turunnya daya tahan psikis masyarakat setelah dihantam “peristiwa emosional yang signifikan” (hlm. 1). Penurunan daya tahan psikis itu dialami sebagian besar dari 5.817 responden riset yang dilakukan 26 Mei-2 Juni 2021 itu.


Kesulitan hidup akibat Covid-19, tak pelak lagi, menjadi salah satu pendorong peristiwa emosional yang signifikan. Pandemi Covid-19 sungguh-sungguh berdampak terhadap kesehatan mental masyarakat. WHO (2020) menggunakan istilah ‘kelelahan pandemik’ (pandemic fatigue) untuk menggambarkan hilangnya motivasi orang untuk melakukan sesuatu yang dapat melindunginya. Tanda-tanda kelelahan pandemik ini antara lain, tidak lagi peduli pada himbauan untuk mencuci tangan dan mengenakan masker atau menurunnya usaha untuk mencari informasi soal Covid-19.

Kelelahan pandemik bisa mengiringi terjadinya ‘gangguan mental’ (mental breakdown) pada masa pandemi Covid-19. Mengutip Ho et al. (2020), Roy et al. (2020) mengatakan bahwa gangguan mental dipicu oleh rasa takut jatuh sakit atau hampir mati. Kalau sudah sampai mengalami gangguan mental, orang-orang bukan hanya sulit tidur; mereka bahkan bisa melakukan diskriminasi terhadap siapapun yang dianggap menularkan Covid-19.


Sekarang, bayangkan betapa Covid-19 bisa mengancam persatuan Indonesia! Covid-19 dapat memunculkan rasa khawatir, depresi, malu, takut, frustrasi, bosan, cemas, panik, mass hysteria, stres, sedih yang mampu menjadikan masyarakat mengalami gangguan mental. Jika gangguan mental itu menguasai masyarakat sampai ke tahap diskriminasi, sangat mudahlah Indonesia dipecah-belah.

Pilah Pilih Tekanan

Kesehatan mental seseorang tergantung dari caranya melihat dan menanggapi suatu hal. Manusia memiliki caranya masing-masing dalam merespons peristiwa. Pun, setiap manusia memiliki batasan yang berbeda dalam menerima tantangan dunia luar, terlebih yang datang secara tiba-tiba dan bertubi-tubi. Benar, pada akhirnya, masing-masing juga-lah yang memegang kendali  atas segala sesuatu yang hendak masuk ke dalam diri.

Manusiawi jika kita ingin merdeka dari pandemi. Hampir dua tahun bergelut dengan pandemi, tubuh saya telah merespons banyak hal. Selain saya, tersebutlah orang-orang yang berada di lingkaran persaudaraan hingga pertemanan. Karena melihat masing-masing dari merekalah saya mampu menuliskan kalimat pada paragraf sebelumnya.


Bagi saya, tindakan mereka untuk merespons krisis seperti hiatus, mengurangi aktivitas di media sosial, memasang tulisan “stop menyebarkan info Covid-19” sebagai foto profil di WhatsApp, mematikan akun media sosial, secara sengaja mute postingan Covid-19 di media sosial tertentu, sama sekali tidak salah. Bahkan ketika ada yang bertahan tidak membagikan informasi donor konvalesen sekalipun, hal itu tidak akan mematikan kemanusiaan mereka. Manusia berhak memilah dan memilih segala sesuatu yang berpotensi jadi sumber tekanan mentalnya.


Sayangnya, saya tidak bisa mengikuti jejak orang-orang untuk hibernasi dari media sosial, karena masih membutuhkan media sosial sebagai sarana mengais rezeki dan mendulang ilmu. Yang bisa saya lakukan adalah praktik resiliensi ala saya: mendayagunakan kemampuan memilah konten, belajar beradaptasi, dan berusaha menerima hal-hal yang berada di luar kendali.

Tumbuh sebagai Manusia Tangguh

Lepas dari hibernasi media sosial yang sebagian orang lakukan, saya jadi bertanya-tanya: apakah membagikan info soal Covid-19 itu memperkuat bangsa ini? Apakah memang membuat bangsa ini menjadi lebih tangguh? Atau, justru sebenarnya info yang berseliweran itu melemahkan masyarakat, membuat imun bangsa ini turun? Lalu, apa yang dapat membuat bangsa ini lebih kuat? Apa yang membuat setiap elemen bangsa ini bisa bangkit lagi?

Menurut saya, membanjiri masyarakat dengan berbagai info soal Covid-19 bukanlah tindakan bijak. Suara sirine ambulans saja saat ini sudah membuat orang-orang cemas, padahal belum tentu isinya adalah pasien Covid-19. Begitu juga ketika ada berita duka, baik yang melalui corong masjid maupun media sosial, orang-orang langsung menduga-duga penyebab meninggalnya.


Mental masyarakat akan semakin terpuruk bila dijejali dengan info simpang siur soal vaksinasi, dan kebijakan PPKM, serta peningkatan jumlah pasien positif Covid-19. Sementara itu, mereka masih bergulat dengan kesulitan ekonomi, yang tidak kalah menyesakkan. Langkah-langkah praktis, menurut saya, harus dilakukan dengan lebih memperhatikan mental masyarakat. Alasannya adalah, dengan sedikit memodifikasi slogan yang sudah populer, mens sana corpus sanum parat (pikiran/mental yang sehat mempersiapkan tubuh yang sehat).


Praktik-praktik perlindungan diri yang sudah saya ceritakan sebelumnya merupakan langkah awal yang bersifat personal. Akan tetapi, membentuk masyarakat tangguh bukan hanya tugas pribadi. Perkara kesehatan mental harus ditanggapi lebih lanjut, secara serius, dan ditangani bersama untuk membentuk ketahanan masyarakat. Usaha untuk hanya menyebarkan info dan kebijakan yang jelas dan terukur dapat membantu pembentukan masyarakat yang tangguh. Syukur-syukur bila infonya menggembirakan dan menguatkan harapan, seperti berita kemenangan atlet Indonesia di Olimpiade Tokyo yang baru saja berlalu.

Harapan saya sesungguhnya sederhana, kok, yakni bisa bangun pagi dengan jiwa raga yang sehat, bertemu dengan para anggota keluarga, ngobrol santai dengan teman-teman sambil menyeruput kopi dan menggigit donat, keluar rumah dengan leluasa, dan berkarya seturut angin menggandeng tangan saya. Seandainya semua itu belum bisa saya dapatkan di dalam dunia bebas Covid-19, setidaknya saya bisa merasakan energi itu di dalam masyarakat Indonesia yang tangguh, yang bahu membahu ingin bangkit dari keterpurukan.[]


“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Pembuatan Konten Media Sosial dalam rangka Memperingati HUT RI ke-76 dengan tema Merdeka dari Pandemi: Bersatu dalam Keberagaman untuk Indonesia Bangkit yang diselenggarakan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY”.