Minggu, 20 Desember 2020

Penerimaan sebagai Kunci Toleransi

 

Dokumentasi Ratri Puspita 


Saya heran dengan nama salah seorang teman sekolah yang mirip nama baptis bagi umat Katolik: Katarina. Saya pikir, Katarina seorang Katolik. Nyatanya, Katarina mengikuti pelajaran agama Islam. Pun, dalam perjalanan sebagai penggiat blog, saya berjumpa seorang Anastasia dan dia mengenakan jilbab! Di luar sosok Katarina dan Anastasia, ada lagi yang bernama Maria dan Agustina. Barangkali supaya tidak disangka orang Kristen, diberilah tambahan “h” di belakang nama keduanya. Jadilah Maryah dan Agustinah. Berbeda kutub, saya mengenal seorang biarawati bernama Suster Siti. Pernah pula memiliki tetangga yang bernama Siti Aniyah. Meskipun punya unsur nama “Siti”, orang yang saya kenal itu beragama Katolik.

Kira-kira, apa yang memotivasi orang tua masing-masing memberi nama anaknya dengan nama-nama berbau Kristen atau Katolik ya? Bisa jadi alasannya adalah orang tua mereka menganggap nama-nama itu keren, terlihat “cantik” atau memang memiliki makna tersendiri. Saya sadari, Katarina, Agustinah, Maryah, Siti adalah nama-nama lintas iman. Entah di kemudian hari anaknya bakal bertanya, kenapa diberi nama mirip nama baptis orang Katolik? Beruntungnya saya, empat suku kata nama pemberian orang tua, terangkai nama lengkap yang netral. Namun, meski sudah bernama senetral mungkin, tetap saja ada pertanyaan agama saya apa?


Dapat dikatakan bahwa dari lahir saja orang-orang di sekitar kita sudah dikenalkan dengan kehidupan lintas iman melalui nama-nama yang mereka sandang. Lebih elok lagi bila ternyata para pemilik atau pemberi nama tidak menyadari bahwa latar belakang nama mereka sesungguhnya berasal dari keyakinan religius lain. Hal itu berarti penerimaan dan penyerapan seseorang atas unsur yang berasal dari luar agamanya berlangsung mulus dan lancar tanpa harus khawatir akan berpindah keyakinan hanya karena nama. Toleransi, dalam hal ini, seolah-olah sudah terjadi tanpa disadari.


Secara kultural, penerimaan atas unsur budaya atau agama lain memang dimungkinkan. Bukan cuma nama, ada beberapa produk budaya lain yang diterima dan diserap, tanpa kita takut berubah identitas. Sebagai contoh, kaastengels, lidah kucing, nastar menghiasi meja makan bersamaan bedug Idulfitri berkumandang. Di toko-toko, kue-kue itu justru menjadi primadona dan laris diserbu pembeli jelang Hari Raya Idulfitri. Padahal, kita tahu bahwa makanan-makanan tersebut bukanlah asli dari Indonesia, melainkan dibawa dari Belanda. Akan tetapi, Idulfitri seolah kurang afdal tanpa sajian kaastengels, lidah kucing, dan nastar bagi para tamu yang bersilaturahmi. Dan, kita menikmatinya bersandingan dengan ketupat, opor ayam kampung, sate, sambal goreng ati ampela krecek  lengkap dengan petai dan taburan bawang gorengnya, yang tentunya memiliki identitas multikultur pula.


Maya Yulita, di dalam artikel berjudul “Holan di Piring”, yang dimuat di Basis Nomor 11-12, Tahun Ke-69, 2020, menulis tentang perayaan ulang tahun ke-50 orang Belanda, yang secara tradisi dirayakan dengan Abraham en Sara koek. Maksud dari perayaan itu, tulis Maya, adalah “agar yang berulang tahun memiliki kebijaksanaan seperti Abraham (jika laki-laki) dan Sara (jika perempuan)”. Bagi saya, yang menarik bukanlah perayaan itu sendiri, melainkan kenyataan bahwa Abraham en Sara koek berasal dari tradisi dan kisah Kitab Suci Kristiani. Padahal, kita tahu bahwa sekarang Belanda merupakan negara Eropa yang sangat sekuler. Oleh sebab itu, bertahannya tradisi berlatar belakang Kristiani di suatu negara sekuler merupakan buah toleransi masyarakat. Sepaham dengan Maya, tanpa toleransi, tradisi Abraham en Sara koek bakal punah.


Apakah berarti toleransi di dalam masyarakat kita itu juga berasal dari budaya Belanda seperti kaastengels dan teman-temannya? Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan demikian. Saya meyakini toleransi sudah dihayati oleh masyarakat Indonesia sejak masa berdirinya kerajaan di masa silam, jauh sebelum orang Belanda datang ke Nusantara. Yang ingin saya tekankan adalah bertahannya suatu produk budaya tidak dapat dilepaskan dari sikap toleran masyarakat yang menerimanya. Dan, toleransi tidak akan dapat dipisahkan dari penerimaan tanpa menganggap budaya atau tradisi lain sebagai ancaman. Dari situ lahirlah Katarina, Agustinah, dan Maryah yang rajin sholat lima waktu atau Siti yang setia mendaraskan Salam Maria bahkan memilih jalan hidup menjadi seorang biarawati. Demikian pula, masyarakat umum bisa demikian leluasa bermain Tik Tok dengan iringan lagu “Dominic” koplo tanpa khawatir terjadi kristenisasi, meski, asal tahu saja, lagu “Dominic” sesungguhnya bercerita tentang Santo Dominikus, seorang suci Katolik yang mendirikan kelompok religius bernama Ordo Pewarta (OP).


Hidup harian kita tidak dapat lepas dari nama-nama orang Indonesia yang lintas iman, makanan lintas budaya, tradisi religius yang dapat terserap secara alami di dalam kultur suatu bangsa hingga luasnya penggunaan lagu yang berlatar belakang religius. Bertolak dari pengamatan atas adanya hal-hal itu, saya berpendapat dan meyakini bahwa penerimaan itu memang kunci hidup bersama. Penerimaan merupakan gerak batin diri untuk menerima suatu bagian dari hidup kita beririsan dengan bagian hidup orang lain.


Kita perlu mengingat bahwa di dalam sejarah bangsa Indonesia, toleransi mewujud di dalam monumen yang dapat kita lihat sampai saat ini. Perwujudan toleransi yang saya maksud adalah Masjid Istiqlal. Sejarah mencatat bahwa salah satu masjid terbesar di Indonesia ini dirancang oleh seorang Nasrani bernama Friedrich Silaban. Bahkan, dikisahkan bahwa sejak awal pembangunan Masjid Istiqlal Silaban tidak pernah absen mengawalnya.

Bagi Silaban, menjadi arsitek dari masjid akbar seperti Istiqlal merupakan kebanggaan tersendiri. Sedangkan, bagi umat Islam, berdirinya Istiqlal merupakan berkah tersendiri. Upaya saling menerima terjadi ketika kebanggaan Silaban beririsan dengan kebesaran hati umat Islam menerima masjid hasil rancangan seorang Kristiani itu. Seperti Istiqlal yang kokoh sampai sekarang, kita pun boleh berharap upaya saling menerima yang mengarah pada toleransi di dalam masyarakat tetap terwujud konkret hingga saat ini.

Toleransi mewujud ketika kita mengizinkan unsur yang terkait dengan kepemilikan budaya, agama, dan kebiasaan hidup harian bersinggungan dengan hidup kita tanpa kita harus merasa bertentangan bahkan terancam. Hmmm…
Jangan-jangan sesungguhnya sudah ada bekal sikap toleransi yang ikut ditiupkan dalam roh ketika kita masih berdiam di dalam rahim ibu? Bekal sikap toleransi itu sudah kita serap melalui hal-hal yang sifatnya sepele dan sehari-hari, seperti nama, makanan bahkan kesenangan. Dalam penerimaan, sekat penghalang menjadi kabur. Kalau kita sudah menyukai suatu makanan, menyenangi nama atau memainkan hiburan, masihkah berpikir soal asal muasal? []


1 komentar: