Dokumentasi Ratri Puspita |
Saya heran dengan
nama salah seorang teman sekolah yang mirip nama baptis bagi umat Katolik:
Katarina. Saya pikir, Katarina seorang Katolik. Nyatanya, Katarina mengikuti
pelajaran agama Islam. Pun, dalam perjalanan sebagai penggiat blog, saya
berjumpa seorang Anastasia dan dia mengenakan jilbab! Di luar sosok Katarina
dan Anastasia, ada lagi yang bernama Maria dan Agustina. Barangkali supaya
tidak disangka orang Kristen, diberilah tambahan “h” di belakang nama keduanya.
Jadilah Maryah dan
Agustinah. Berbeda kutub, saya mengenal seorang biarawati bernama Suster Siti.
Pernah pula memiliki tetangga yang bernama Siti Aniyah. Meskipun punya unsur
nama “Siti”, orang yang saya kenal itu beragama Katolik.
Kira-kira, apa yang memotivasi orang tua masing-masing
memberi nama anaknya dengan nama-nama berbau Kristen atau Katolik ya? Bisa jadi
alasannya adalah orang tua mereka menganggap nama-nama itu keren, terlihat
“cantik” atau memang memiliki makna tersendiri. Saya sadari, Katarina,
Agustinah, Maryah, Siti adalah nama-nama lintas iman. Entah di kemudian hari
anaknya bakal bertanya, kenapa diberi nama mirip nama baptis orang Katolik?
Beruntungnya saya, empat suku kata nama pemberian orang tua, terangkai nama
lengkap yang netral. Namun, meski sudah bernama senetral mungkin, tetap saja
ada pertanyaan agama saya apa?
Dapat dikatakan bahwa dari lahir saja orang-orang di
sekitar kita sudah dikenalkan dengan kehidupan lintas iman melalui nama-nama
yang mereka sandang. Lebih elok lagi bila ternyata para pemilik atau pemberi
nama tidak menyadari bahwa latar belakang nama mereka sesungguhnya berasal dari
keyakinan religius lain. Hal itu berarti penerimaan dan penyerapan seseorang
atas unsur yang berasal dari luar agamanya berlangsung mulus dan lancar tanpa
harus khawatir akan berpindah keyakinan hanya karena nama. Toleransi, dalam hal
ini, seolah-olah sudah terjadi tanpa disadari.
Secara kultural, penerimaan atas unsur budaya atau agama
lain memang dimungkinkan. Bukan cuma nama, ada beberapa produk budaya lain yang
diterima dan diserap, tanpa kita takut berubah identitas. Sebagai contoh, kaastengels, lidah kucing, nastar
menghiasi meja makan bersamaan bedug Idulfitri berkumandang. Di toko-toko,
kue-kue itu justru menjadi primadona dan laris diserbu pembeli jelang Hari Raya
Idulfitri. Padahal, kita tahu bahwa makanan-makanan tersebut bukanlah asli dari
Indonesia, melainkan dibawa dari Belanda. Akan tetapi, Idulfitri seolah kurang
afdal tanpa sajian kaastengels, lidah
kucing, dan nastar bagi para tamu yang bersilaturahmi. Dan, kita menikmatinya
bersandingan dengan ketupat, opor ayam kampung, sate, sambal goreng ati ampela
krecek lengkap dengan petai dan taburan
bawang gorengnya, yang tentunya memiliki identitas multikultur pula.
Maya Yulita, di dalam artikel berjudul “Holan di Piring”,
yang dimuat di Basis Nomor 11-12, Tahun Ke-69, 2020, menulis tentang perayaan
ulang tahun ke-50 orang Belanda, yang secara tradisi dirayakan dengan Abraham en Sara koek. Maksud dari
perayaan itu, tulis Maya, adalah “agar yang berulang tahun memiliki
kebijaksanaan seperti Abraham (jika laki-laki) dan Sara (jika perempuan)”. Bagi
saya, yang menarik bukanlah perayaan itu sendiri, melainkan kenyataan bahwa Abraham en Sara koek berasal dari
tradisi dan kisah Kitab Suci Kristiani. Padahal, kita tahu bahwa sekarang
Belanda merupakan negara Eropa yang sangat sekuler. Oleh sebab itu, bertahannya
tradisi berlatar belakang Kristiani di suatu negara sekuler merupakan buah
toleransi masyarakat. Sepaham dengan Maya, tanpa toleransi, tradisi Abraham en Sara koek bakal punah.
Apakah berarti toleransi di dalam masyarakat kita itu
juga berasal dari budaya Belanda seperti kaastengels
dan teman-temannya? Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan demikian.
Saya meyakini toleransi sudah dihayati oleh masyarakat Indonesia sejak masa
berdirinya kerajaan di masa silam, jauh sebelum orang Belanda datang ke
Nusantara. Yang ingin saya tekankan adalah bertahannya suatu produk budaya
tidak dapat dilepaskan dari sikap toleran masyarakat yang menerimanya. Dan,
toleransi tidak akan dapat dipisahkan dari penerimaan tanpa menganggap budaya
atau tradisi lain sebagai ancaman. Dari situ lahirlah Katarina, Agustinah, dan
Maryah yang rajin sholat lima waktu atau Siti yang setia mendaraskan Salam
Maria bahkan memilih jalan hidup menjadi seorang biarawati. Demikian pula,
masyarakat umum bisa demikian leluasa bermain Tik Tok dengan iringan lagu
“Dominic” koplo tanpa khawatir terjadi kristenisasi, meski, asal tahu saja,
lagu “Dominic” sesungguhnya bercerita tentang Santo Dominikus, seorang suci
Katolik yang mendirikan kelompok religius bernama Ordo Pewarta (OP).
Hidup harian kita tidak dapat lepas dari nama-nama orang
Indonesia yang lintas iman, makanan lintas budaya, tradisi religius yang dapat
terserap secara alami di dalam kultur suatu bangsa hingga luasnya penggunaan
lagu yang berlatar belakang religius. Bertolak dari pengamatan atas adanya
hal-hal itu, saya berpendapat dan meyakini bahwa penerimaan itu memang kunci
hidup bersama. Penerimaan merupakan gerak batin diri untuk menerima suatu
bagian dari hidup kita beririsan dengan bagian hidup orang lain.
Kita perlu mengingat bahwa di dalam sejarah bangsa
Indonesia, toleransi mewujud di dalam monumen yang dapat kita lihat sampai saat
ini. Perwujudan toleransi yang saya maksud adalah Masjid Istiqlal. Sejarah
mencatat bahwa salah satu masjid terbesar di Indonesia ini dirancang oleh
seorang Nasrani bernama Friedrich Silaban. Bahkan, dikisahkan bahwa sejak awal
pembangunan Masjid Istiqlal Silaban tidak pernah absen mengawalnya.
Bagi Silaban, menjadi arsitek dari masjid akbar seperti
Istiqlal merupakan kebanggaan tersendiri. Sedangkan, bagi umat Islam,
berdirinya Istiqlal merupakan berkah tersendiri. Upaya saling menerima terjadi
ketika kebanggaan Silaban beririsan dengan kebesaran hati umat Islam menerima
masjid hasil rancangan seorang Kristiani itu. Seperti Istiqlal yang kokoh
sampai sekarang, kita pun boleh berharap upaya saling menerima yang mengarah
pada toleransi di dalam masyarakat tetap terwujud konkret hingga saat ini.
Toleransi mewujud ketika
kita mengizinkan unsur yang terkait dengan kepemilikan budaya, agama, dan
kebiasaan hidup harian bersinggungan dengan hidup kita tanpa kita harus merasa
bertentangan bahkan terancam. Hmmm… Jangan-jangan sesungguhnya sudah ada bekal sikap
toleransi yang ikut ditiupkan dalam roh ketika kita masih berdiam di dalam
rahim ibu? Bekal sikap toleransi itu sudah kita serap melalui hal-hal yang
sifatnya sepele dan sehari-hari, seperti nama, makanan bahkan kesenangan. Dalam
penerimaan, sekat penghalang menjadi kabur. Kalau kita sudah menyukai suatu
makanan, menyenangi nama atau memainkan hiburan, masihkah berpikir soal asal
muasal? []
good inofhnya serr
BalasHapusVisit Us