Minggu, 20 Desember 2020

Penerimaan sebagai Kunci Toleransi

 

Dokumentasi Ratri Puspita 


Saya heran dengan nama salah seorang teman sekolah yang mirip nama baptis bagi umat Katolik: Katarina. Saya pikir, Katarina seorang Katolik. Nyatanya, Katarina mengikuti pelajaran agama Islam. Pun, dalam perjalanan sebagai penggiat blog, saya berjumpa seorang Anastasia dan dia mengenakan jilbab! Di luar sosok Katarina dan Anastasia, ada lagi yang bernama Maria dan Agustina. Barangkali supaya tidak disangka orang Kristen, diberilah tambahan “h” di belakang nama keduanya. Jadilah Maryah dan Agustinah. Berbeda kutub, saya mengenal seorang biarawati bernama Suster Siti. Pernah pula memiliki tetangga yang bernama Siti Aniyah. Meskipun punya unsur nama “Siti”, orang yang saya kenal itu beragama Katolik.

Kira-kira, apa yang memotivasi orang tua masing-masing memberi nama anaknya dengan nama-nama berbau Kristen atau Katolik ya? Bisa jadi alasannya adalah orang tua mereka menganggap nama-nama itu keren, terlihat “cantik” atau memang memiliki makna tersendiri. Saya sadari, Katarina, Agustinah, Maryah, Siti adalah nama-nama lintas iman. Entah di kemudian hari anaknya bakal bertanya, kenapa diberi nama mirip nama baptis orang Katolik? Beruntungnya saya, empat suku kata nama pemberian orang tua, terangkai nama lengkap yang netral. Namun, meski sudah bernama senetral mungkin, tetap saja ada pertanyaan agama saya apa?


Dapat dikatakan bahwa dari lahir saja orang-orang di sekitar kita sudah dikenalkan dengan kehidupan lintas iman melalui nama-nama yang mereka sandang. Lebih elok lagi bila ternyata para pemilik atau pemberi nama tidak menyadari bahwa latar belakang nama mereka sesungguhnya berasal dari keyakinan religius lain. Hal itu berarti penerimaan dan penyerapan seseorang atas unsur yang berasal dari luar agamanya berlangsung mulus dan lancar tanpa harus khawatir akan berpindah keyakinan hanya karena nama. Toleransi, dalam hal ini, seolah-olah sudah terjadi tanpa disadari.


Secara kultural, penerimaan atas unsur budaya atau agama lain memang dimungkinkan. Bukan cuma nama, ada beberapa produk budaya lain yang diterima dan diserap, tanpa kita takut berubah identitas. Sebagai contoh, kaastengels, lidah kucing, nastar menghiasi meja makan bersamaan bedug Idulfitri berkumandang. Di toko-toko, kue-kue itu justru menjadi primadona dan laris diserbu pembeli jelang Hari Raya Idulfitri. Padahal, kita tahu bahwa makanan-makanan tersebut bukanlah asli dari Indonesia, melainkan dibawa dari Belanda. Akan tetapi, Idulfitri seolah kurang afdal tanpa sajian kaastengels, lidah kucing, dan nastar bagi para tamu yang bersilaturahmi. Dan, kita menikmatinya bersandingan dengan ketupat, opor ayam kampung, sate, sambal goreng ati ampela krecek  lengkap dengan petai dan taburan bawang gorengnya, yang tentunya memiliki identitas multikultur pula.


Maya Yulita, di dalam artikel berjudul “Holan di Piring”, yang dimuat di Basis Nomor 11-12, Tahun Ke-69, 2020, menulis tentang perayaan ulang tahun ke-50 orang Belanda, yang secara tradisi dirayakan dengan Abraham en Sara koek. Maksud dari perayaan itu, tulis Maya, adalah “agar yang berulang tahun memiliki kebijaksanaan seperti Abraham (jika laki-laki) dan Sara (jika perempuan)”. Bagi saya, yang menarik bukanlah perayaan itu sendiri, melainkan kenyataan bahwa Abraham en Sara koek berasal dari tradisi dan kisah Kitab Suci Kristiani. Padahal, kita tahu bahwa sekarang Belanda merupakan negara Eropa yang sangat sekuler. Oleh sebab itu, bertahannya tradisi berlatar belakang Kristiani di suatu negara sekuler merupakan buah toleransi masyarakat. Sepaham dengan Maya, tanpa toleransi, tradisi Abraham en Sara koek bakal punah.


Apakah berarti toleransi di dalam masyarakat kita itu juga berasal dari budaya Belanda seperti kaastengels dan teman-temannya? Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan demikian. Saya meyakini toleransi sudah dihayati oleh masyarakat Indonesia sejak masa berdirinya kerajaan di masa silam, jauh sebelum orang Belanda datang ke Nusantara. Yang ingin saya tekankan adalah bertahannya suatu produk budaya tidak dapat dilepaskan dari sikap toleran masyarakat yang menerimanya. Dan, toleransi tidak akan dapat dipisahkan dari penerimaan tanpa menganggap budaya atau tradisi lain sebagai ancaman. Dari situ lahirlah Katarina, Agustinah, dan Maryah yang rajin sholat lima waktu atau Siti yang setia mendaraskan Salam Maria bahkan memilih jalan hidup menjadi seorang biarawati. Demikian pula, masyarakat umum bisa demikian leluasa bermain Tik Tok dengan iringan lagu “Dominic” koplo tanpa khawatir terjadi kristenisasi, meski, asal tahu saja, lagu “Dominic” sesungguhnya bercerita tentang Santo Dominikus, seorang suci Katolik yang mendirikan kelompok religius bernama Ordo Pewarta (OP).


Hidup harian kita tidak dapat lepas dari nama-nama orang Indonesia yang lintas iman, makanan lintas budaya, tradisi religius yang dapat terserap secara alami di dalam kultur suatu bangsa hingga luasnya penggunaan lagu yang berlatar belakang religius. Bertolak dari pengamatan atas adanya hal-hal itu, saya berpendapat dan meyakini bahwa penerimaan itu memang kunci hidup bersama. Penerimaan merupakan gerak batin diri untuk menerima suatu bagian dari hidup kita beririsan dengan bagian hidup orang lain.


Kita perlu mengingat bahwa di dalam sejarah bangsa Indonesia, toleransi mewujud di dalam monumen yang dapat kita lihat sampai saat ini. Perwujudan toleransi yang saya maksud adalah Masjid Istiqlal. Sejarah mencatat bahwa salah satu masjid terbesar di Indonesia ini dirancang oleh seorang Nasrani bernama Friedrich Silaban. Bahkan, dikisahkan bahwa sejak awal pembangunan Masjid Istiqlal Silaban tidak pernah absen mengawalnya.

Bagi Silaban, menjadi arsitek dari masjid akbar seperti Istiqlal merupakan kebanggaan tersendiri. Sedangkan, bagi umat Islam, berdirinya Istiqlal merupakan berkah tersendiri. Upaya saling menerima terjadi ketika kebanggaan Silaban beririsan dengan kebesaran hati umat Islam menerima masjid hasil rancangan seorang Kristiani itu. Seperti Istiqlal yang kokoh sampai sekarang, kita pun boleh berharap upaya saling menerima yang mengarah pada toleransi di dalam masyarakat tetap terwujud konkret hingga saat ini.

Toleransi mewujud ketika kita mengizinkan unsur yang terkait dengan kepemilikan budaya, agama, dan kebiasaan hidup harian bersinggungan dengan hidup kita tanpa kita harus merasa bertentangan bahkan terancam. Hmmm…
Jangan-jangan sesungguhnya sudah ada bekal sikap toleransi yang ikut ditiupkan dalam roh ketika kita masih berdiam di dalam rahim ibu? Bekal sikap toleransi itu sudah kita serap melalui hal-hal yang sifatnya sepele dan sehari-hari, seperti nama, makanan bahkan kesenangan. Dalam penerimaan, sekat penghalang menjadi kabur. Kalau kita sudah menyukai suatu makanan, menyenangi nama atau memainkan hiburan, masihkah berpikir soal asal muasal? []


Minggu, 06 Desember 2020

[Majalah Utusan] Guguran Bunga di Patung Pieta

"Guguran Bunga di Patung Pieta" adalah tulisan saya yang dimuat di Majalah Utusan Nomor 10 Tahun ke-70, Oktober 2020. Judul asli sesuai naskah yang dikirim melalui e-mail ke redaksi Majalah Utusan adalah Iman yang Sederhana. Mungkin, redaksi memiliki pertimbangan tertentu untuk mengubah judul.

Perjumpaan dipilih sebagai dasar penulisan artikel yang mengisi rubrik Keranjang tersebut. Seperti ditulis Laura Klarfeld, “People are guests in our story, the same way we are guests in theirs. But we all meet each other for a reason because every person is a personal lesson waiting to be told”, maka Pak Yusuf dan Bu Lusia adalah guest (tamu) di dalam perjalanan hidup saya.

Jika perjumpaan kami adalah bagian dari takdir, tentunya di balik takdir, terdapat alasan (reason) untuk mempertemukan. Ketika terjadi perjumpaan itulah, cerita saya melebur jadi cerita kami (our story). Cerita milik kami bertiga (personal lesson) hendak dibagikan (told) kepada orang-orang.

Apakah tokoh Bu Lusia dan Mbah Yusuf benar-benar nyata?

Bu Lusia dan Mbah Yusuf  adalah tokoh nyata. Saat cerita itu terjadi, keduanya hidu dan ada di lingkungan hidup masing-masing. Namun, namanya bukan Bu Lusia dan Mbah Yusuf. Saya memberinya nama "Bu Lusia" dan "Mbah Yusuf", karena tidak tahu nama asli keduanya. Kalaupun saya tahu, saya tetap bersikukuh memakai nama fiktif. Meskipun fiktif, saya pilihkan nama terbaik untuk kedua tokoh; sesuai dengan kepribadian yang mampu saya tangkap lalu diubah ke dalam sebuah nama.

Berikut adalah teks dan judul asli diikuti teks dan judul setelah melewati meja redaksi. Selamat berkenalan dengan Bu Lusia dan Mbah Yusuf!

***


IMAN YANG SEDERHANA

Beragam cara manusia mengungkapkan iman kepada Allah. Sebut saja mengikuti misa harian setiap hari, rajin mendoakan berbagai macam devosi, dan menjalani latihan rohani. Mulai dari kerap beramal, ziarah ke gua Maria, retret, hingga aktif sebagai anggota Dewan Paroki maupun tim pelayanan Gereja. Tidak ada yang salah dengan semuanya itu. Namanya saja ungkapan iman kepada Allah. Ibarat orang jatuh cinta, selalu ada energi pendorong untuk melakukan segala sesuatu, mulai dari hal yang paling sederhana hingga mencapai hal-hal besar. Allah pun tidak akan menolak ungkapan iman yang paling sederhana sekalipun.

Agustus 2019. Kala itu, saya tengah mengunjungi sebuah gereja di kawasan Jakarta Pusat. Kaki saya melangkah menuju gua Maria yang berada di dalam kompleks gereja. Gua Maria yang wajib dikunjungi setiap kali ke Jakarta, entah itu disisipkan di antara agenda atau mampir sembari menunggu kereta yang akan membawa pulang ke Yogyakarta. Suasana hening dan damai yang dihadirkan di gua Maria tersebut seakan menjadi penyeimbang ingar bingar kota metropolitan. Betah rasanya berlama-lama berdoa dan mencurahkan segala isi hati di tempat ini.

Usai berdoa dan mencurahkan segala isi hati, saya tidak langsung meninggalkan kompleks gereja. Saya menunggu datangnya seorang sahabat, karena kami sudah janjian. Sembari menanti, perhatian saya tertuju pada seorang perempuan lanjut usia. Badannya tidak terlalu tinggi. Penampilan beliau sungguh sederhana. Kita sebut saja beliau “Bu Lusia”.

Bukannya menyalakan lilin, meletakkan rangkaian bunga lalu berdoa di depan Patung Bunda Maria seperti yang dilakukan pengunjung, Bu Lusia malah sibuk membersihkan tempat lilin yang letaknya berseberangan dengan patung Bunda Maria. Lelehan-lelehan lilin yang melekat dikerok lalu disemprot dengan air mengalir dari selang. Alhasil, tempat lilin jadi bersih. Tuntas memerhatikan Bu Lusia, saya kembali pada tujuan saya: menunggu kedatangan sahabat.

Ketika tengah menunggu datangnya sahabat saya, Bu Lusia menghampiri dari balik punggung. Ada apa gerangan, pikir saya. Jangan-jangan, saya diminta mengembalikan empat buah lilin yang saya ambil. Padahal, saya, kan, sudah memasukkan sumbangan lilin. Ternyata, saya diminta untuk mengatur posisi duduk supaya tidak membelakangi patung Bunda Maria. Dan selama saya berada di sekitar gua Maria, tampak beberapa pengunjung menerima teguran serupa: tidak boleh duduk membelakangi Bunda Maria.

Sosok dan aksi Bu Lusia mengingatkan saya pada seorang laki-laki tua di salah satu gereja di Kota Yogyakarta. Panggil saja dengan nama “Mbah Yusuf”. Ubannya putih sempurna, pendengarannya sudah berkurang, jalannya pun tertatih-tatih. Mbah Yusuf berusaha menyapa dan menyalami orang yang beliau kenal di gereja.

Kebiasaan khas Mbah Yusuf tiap kali mengikuti perayaan Ekaristi harian sore adalah beliau tidak pernah pindah tempat duduk, kecuali tempat duduknya telah diduduki orang. Yang paling mengesankan, Mbah Yusuf selalu datang ke gereja sangat-sangat awal. Saya pernah melihat Mbah Yusuf jalan kaki memasuki gerbang gereja sekitar pukul 16.00, padahal perayaan Ekaristi harian sore hari baru dimulai pukul 17.30!

Seperti halnya Bu Lusia, Mbah Yusuf peduli akan kebersihan dan ketersediaan sarana doa di gerejanya itu. Biasanya, begitu sampai di dalam gereja, Mbah Yusuf akan “patroli” untuk memeriksa stok lilin doa dan korek api yang berada di tempat umat biasa berdoa. Memang, tidak seperti ketika bertemu Bu Lusia, saya tidak pernah ditegur Mbah Yusuf. Akan tetapi, benak saya tidak akan lupa bahwa Mbah Yusuf pernah mengambili remah-remah bunga, yang jatuh dari rangkaian yang menghiasi meja patung Pieta supaya area patung Pieta terjaga kebersihannya.

Perjumpaan dengan Bu Lusia dan Mbah Yusuf membuat saya berpikir soal iman yang dipraktikkan melalui hal-hal sederhana, tetapi konkret: membersihkan lelehan lilin, menegur orang yang duduk membelakangi Bunda Maria, mengisi ulang lilin sarana doa, mengisi ulang korek api untuk menyalakan lilin doa atau memunguti bagian bunga yang berguguran di sekitar patung Pieta. Akan tetapi, iman itu ditunjukkan secara nyata sebagai wujud cinta kepada Allah. Raga yang menua tidak menghalangi seseorang untuk mengimplementasikan imannya.

Tentu sah-sah saja bila ada orang yang berusaha menunjukkan imannya dengan gagah berani, melalui perbuatan-perbuatan besar. Bahkan, tidak sedikit pula yang menjadi martir demi mempertahankan iman dan memperlihatkan cintanya kepada Allah. Tidak sedikit para kudus di dalam Gereja kita yang mewujudkan iman melalui berbagai tindakan luar biasa, yang kerapkali sulit dicari padanannya saat ini.

Akan tetapi, amatlah disayangkan andaikata segala tindakan kepahlawanan dan luar biasa itu pada akhirnya hanya sebagai asesoris pemanis, tetapi kosong di dalam. Seseorang bisa saja berkoar-koar soal iman, menampilkan diri seolah-olah sebagai sosok yang dapat diteladani di dalam Gereja, melakukan banyak hal yang tampaknya terpuji. Bahkan, mungkin banyak orang yang mengelu-elukan sebagai orang beriman atau orang suci. Sayang sekali bila, di balik itu semua, ternyata ia tidak sungguh-sungguh mencintai-Nya dan justru berkutat mencari pujian belaka. Ia sesungguhnya kosong di dalam, karena tanggapannya akan cinta Allah hanyalah pura-pura.

Bu Lusia dan Mbah Yusuf mengajarkan kepada saya bahwa iman tidak perlu dibicarakan dan dipraktikkan secara muluk-muluk. Iman yang sederhana itu diwujudkan tanpa ditingkahi banyak laku yang heroik. Biarpun tidak muluk-muluk dan tanpa perbuatan besar, gerak iman itu tetap menjadi gerak hati yang didasari oleh cinta kepada Allah. Jika tidak mewujudkan iman secara konkret, hati terasa gelisah. Gerak hati yang gelisah itulah yang membangunkan diri untuk beraksi.

Tindakan nyata Bu Lusia dan Mbah Yusuf mengantar saya pada kutipan apik dari Pater Pedro Arrupe, S.J. Mantan pemimpin umum Serikat Yesus periode 1965-1983 ini pernah mengungkapkan kata-kata yang menyentuh kedalaman hati saya: fall in love, stay in love, and it will decide everything (jatuh cintalah, tinggallah di dalam cinta, dan semua itu akan menentukan segalanya). Pesan tersebut disampaikan oleh Pater Arrupe di dalam salah satu renungannya di hadapan para biarawati.

Pater Arrupe sendiri tidak hanya mampu berkata-kata indah seperti itu. Beliau secara konsekuen mempraktikkannya pula di dalam hidup sehari-hari. Di dalam artikelnya di American Magazine terbitan 12 November 2007, Kevin Burke, S.J. mengungkapkan bahwa Arrupe memang menunjukkan diri sebagai seseorang yang mampu “menemukan Allah di dalam dunia yang retak ini”. Bahkan, disebutkan juga bahwa beliau “belajar untuk mempercayai cinta”.

Saya bersyukur boleh berjumpa dengan Bu Lusia dan Mbah Yusuf serta Pater Pedro Arrupe, S.J. melalui kutipannya. Dengan cara masing-masing, mereka telah mengajari saya mengenai cinta kepada Allah (fall in love, stay in love) dan soal iman yang diungkapkan secara sederhana (decide everything). Perwujudan yang sederhana itu bukan lantaran tidak mampu melakukan hal-hal yang lebih besar. Justru Allah menghendaki suatu tindakan praktis yang langsung dapat dilakukan dan menyuarakan cinta kita pada-Nya secara konkret. “Apa yang kamu miliki dan mampu lakukan, persembahkanlah sebagai tanda cintamu kepada-Ku,” mungkin Allah berkata demikian kepada Bu Lusia, Mbah Yusuf, dan Pater Arrupe. Saya yakin, itu pula panggilan-Nya untuk saya, Anda, kita semua. ***

Ratri Puspita


 
Dokumentasi: Ratri Puspita


 
Dokumentasi: Ratri Puspita

Sabtu, 05 Desember 2020

[Majalah Rohani] Selamat Ulang Tahun

"Selamat Ulang Tahun" dimuat di rubrik Remah-remah Majalah Rohani Nomor 07 Tahun ke-67, Juli 2020. Latar belakangnya soal kegelisahan saya akan tuntutan mengucapkan selamat ulang tahun, mengingat hari ulang tahun saya-katakanlah demikian- padahal bukan kewajiban orang lain untuk mengingat dan mengucapkan selamat ulang tahun. Kalau orang lain ingat ulang tahun saya, ya, disyukuri, tapi kalau lupa sampai bulan berganti ya jangan sampai menjadi sandungan menjalin relasi.

Naskah dikirim melalui e-mail pada hari Rabu tanggal 3 Juni 2020, pukul 15:05. Jadi, kalau dimuat pada edisi Juli, masa tunggunya kira-kira sebulan. Penulis yang karyanya dimuat, akan mendapat nomor bukti dan tentu saja honor yang besarnya bisa buat jajan kopi kekinian.

Tertarik menulis di majalah bulanan yang berada di bawah kelola G.P. Sindhunata, SJ, A. Bagus Laksana, SJ beserta para Frater Kolese St. Ignatius Yogyakarta? Ketentuannya sebagai berikut.

1. Naskah sesuai rubrik yang tersedia.

Saran dari saya: ada baiknya teman-teman membeli Majalah Rohani edisi terbaru atau membaca beberapa edisi baru Majalah Rohani untuk mengetahui rubrik apa saja yang ada di Majalah Rohani, rubrik apa saja yang bisa ditulis oleh kontributor, tema bulanan, maupun gaya penulisan Majalah Rohani.

Redaksi Majalah Rohani menyajikan tema bulanan untuk satu tahun. Jadi, teman-teman bisa menyiapkan tulisan sesuai minat dan memperkirakan kapan mulai menulis dan kapan tulisan harus dikirim.

Sepengetahuan saya, Remah-remah merupakan ruang menulis yang tidak terikat tema. Contohnya tulisan saya itu yang dimuat ketika tema bulanannya Pedagogi Ignatian sehingga memuat tulisan-tulisan yang mengangkat isu pendidikan dari sudut pandang Ignatian. Meskipun tidak terikat tema, tulisan diupayakan tetap reflektif dan inspiratif.

2. Panjang karangan maksimal 11.000 karakter dengan spasi (3-4 halaman A4, spasi 1).

Perhatian: Bedakan "karakter" dengan "kata", ya. Jangan sampai salah. Teman-teman bisa cek jumlah karakter dan kata pada kotak word count.

3. Kirim ke rohanimajalah@gmail.com
 

4. Sertai dengan nama lengkap, alamat, nomor rekening.

Saran dari saya:

  • Tulis subjek e-mail dengan nama rubrik yang dituju, judul tulisan, nama penulis untuk memudahkan redaksi menyortir tulisan. Contoh:  Remah-remah_Selamat Ulang Tahun_Ratri 
  • Tulis alamat selengkap mungkin supaya nomor bukti tidak nyasar atau kembali ke pengirim. 
  • Jika teman-teman merasa alamat rumahnya bakal mempersulit tukang pos atau kurir, bisa titip dikirimkan ke alamat sekolah, kantor atau rumah teman kalian yang mudah dijangkau. Jangan lupa memberitahu pihak Majalah Rohani mengenai perbedaan alamat kirim, ya.


Selamat menulis!


Dokumentasi: Ratri Puspita



Dokumentasi: Ratri Puspita




Dokumentasi: Ratri Puspita

***

Selamat Ulang Tahun

Salah satu momen istimewa di dalam perjalanan hidup seorang manusia adalah ketika berulang tahun. Betapa istimewanya momen ulang tahun, karena melalui ulang tahun inilah manusia diajak untuk mengucapkan syukur mendalam atas rahmat usia baru, napas yang masih boleh dihela, dan kesempatan untuk melanjutkan karya. Rasa bahagia lantaran menerima rahmat usia baru dari Tuhan kian berlipat kala ucapan selamat ulang tahun disertai doa terbaik mengalir deras. Ucapan selamat ulang tahun dan doa terbaik yang datang bukan hanya dari anggota keluarga melainkan juga kawan-kawan, para sahabat, bahkan kenalan di media sosial. Mirip peristiwa Pentakosta, ucapan selamat ulang tahun dan doa-doa disampaikan dalam aneka bahasa: bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Inggris, dan bahasa asing lainnya.

Suatu hari, di pengujung Mei 2020, saya berulang tahun. Ketika membuka handphone, ternyata sudah ada notifikasi dari WhatsApp, Line, Facebook, e-mail, serta Instagram. Ucapan selamat ulang tahun terawal yang diterima datang dari adik kandung saya yang saat ini berdomisili di Jakarta. Ternyata, dia sudah mengirimkan ucapan itu sejak semalam. Berarti, ketika saya terlelap, ada seseorang yang bersedia meluangkan waktu, menunda jam tidurnya untuk mengirimkan ucapan selamat ulang tahun diikuti doa serta harapan untuk perjalanan hidup saya selanjutnya. Ucapan selamat ulang tahun dan doa-doa terbaik berikutnya saya terima di pagi hari dari anggota keluarga lainnya, sahabat, dan teman-teman. Perhatian mereka menjadi kado istimewa yang hanya bisa saya balas dengan ucapan terima kasih.

Ucapan selamat ulang tahun dan doa menjadi wujud yang kentara bahwa ada orang-orang yang peduli terhadap saya. Peduli karena mereka mau mengingat tanggal lahir saya, lalu meluangkan waktu untuk mengucapkan “selamat ulang tahun”. Padahal, mereka masih memiliki barisan pekerjaan yang antre minta diselesaikan ataupun hal-hal lain yang memenuhi pikiran. Menerima ucapan selamat ulang tahun dan doa dari mereka membawa saya pada kesadaran bahwa saya berharga, saya di-uwongke (dimanusiakan).

Akan tetapi, di antara sekian banyak manusia yang peduli, ada saja sosok-sosok yang lupa akan hari ulang tahun saya. Mereka tidak mengucapkan selamat ulang tahun dan mendoakan, padahal (tampaknya) tahu bahwa saya berulang tahun. Mungkin dari sekian banyak pembaca, ada yang pernah mengalami hal yang sama seperti saya? Ketika saya sendiri mengalami, terselip rasa kecewa di dalam hati. Padahal, ketika dia berulang tahun, saya sudah mengingat, mengucapkan selamat ulang tahun, dan tak lupa, memberikan doa yang terbaik untuknya. Jelas ada keinginan, dia melakukan hal serupa di tanggal kelahiran saya.

Ingin rasanya saya menagih sekadar ucapan “selamat ulang tahun” saja. Tidak perlu pemberian lain yang muluk-muluk. Namun, ketika hasrat menagih tumbuh, menggugat perlakuan orang lain yang dianggap tidak sepadan, sekian waktu kemudian saya diingatkan bahwa saya tidak bisa meminta seseorang untuk melakukan hal yang sama, seperti yang sudah pernah saya lakukan. Pun saya diingatkan bahwa perayaan syukur sesungguhnya bukan sarana menagih ucapan selamat ulang tahun atau tempat untuk melakukan presensi atas siapa saja yang sudah mengirim ucapan selamat ulang tahun.

Memang tidak seharusnya saya berpusat pada diri sendiri, mementingkan ke“saya”an belaka saat berulang tahun. Ada baiknya saya keluar dari kepentingan pribadi, lalu belajar memberi diri. Entah mendoakan saat saya berulang tahun atau tidak, orang-orang yang saya kenal patut didoakan kembali. Selain itu, anugerah hidup yang dirayakan dalam ulang tahun disyukuri dengan melahirkan karya-karya indah bagi sesama, semesta, dan kemuliaan Allah. Dengan demikian, ulang tahun menjadi suatu “continuing celebration”, perayaan yang terus berlanjut hingga orang lain dapat ikut menikmati rahmatnya. ***

Ratri Puspita 

Penulis, Volunteer