“Buat apa bikin paspor?”
Paspornya saja
belum jadi, baru rencana, tapi sudah pada bertanya untuk apa bikin paspor.
“Mau ke mana?”
“Duh, memangnya bikin paspor harus pergi ke mana gitu dalam waktu dekat?
Nggak, kan?”
Abai dengan segala rupa pertanyaan, saya pun kukuh hati bikin paspor.
Bermodal Rp400.000,00, hal pertama yang saya lakukan adalah berburu antrean
paspor baru menggunakan aplikasi imigrasi yang sebelumnya diunduh ke handphone.
Sembari menunggu keluarnya antrean paspor, langkah berikutnya adalah mengumpulkan
dokumen-dokumen yang dibutuhkan (Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, Kartu Tanda
Penduduk serta fotokopinya plus materai 6000).
Saat saya mengajukan permohonan bikin paspor baru, dunia persilatan masih
aman sentosa. Bepergian ke luar negeri untuk berbagai urusan gampang-gampang
aja asal nggak kena “red notice”.
Kita semua masih bebas bertemu orang tanpa diwajibkan jaga jarak, pakai masker
dengan spesifikasi tertentu maupun faceshield
sebagai pelindung tambahan badan.
Ketika berada di tempat umum, belum dijumpai stiker “tanda silang” untuk
menandai tempat yang tidak boleh diduduki atau gambar tapak kaki penanda kita
harus berdiri berjarak dengan orang lain. Pun, kita masih bebas lompat sana
lompat sini tanpa ada syarat tes rapid, PCR atau Swab Antigen.
Setelah paspor warna hijau dengan gambar lambang negara tersebut jadi, saya
tak jua ke mana-mana. Sampai sekarang, paspor yang memiliki masa berlaku lima
tahun itu tersimpan rapi di dalam wadah penyimpan dokumen di rumah. Stempel
yang ada di dalam paspor baru stempel imigrasi.
“Rugi, dong, buang duit untuk paspor hijau 48
halaman?“
Bagi saya, tidak
ada kerugian sedikitpun atas keputusan bikin paspor. Bodo amat juga
kalau ada yang mengatai saya. Penggunaan paspor hanyalah soal waktu. Saya
percaya, usaha manusia akan bertemu dengan takdir Tuhan sehingga jadilah chemistry
yang apik. Dengan menggenggam paspor WNI, sama halnya saya selangkah lebih maju
menjemput cita-cita.
Paspor inilah
yang kelak akan membawa saya menjadi seorang mahasiswi dan mengenal dunia lebih
luas dibanding ukuran kamar saya bahkan luasnya Kota Yogyakarta yang hanya 46 meter
persegi. Kalau Malcolm X berujar, “Education is the passport to the future”
maka langkah pertama meraih “education” itu adalah kepemilikan paspor
warga negara lebih dulu.
Gimana mau sampai Ostrali, Kanada, Inggris, Amerika, Korea Selatan
kalau nggak punya paspor. Lha wong mau ke Singapura dan Malaysia yang tetangga
mepet halaman rumah saja tetap butuh paspor, ya nggak?
Kekuatan Paspor
Pernah saya membaca buku berjudul 30
Paspor di Kelas Sang Profesor #1. Buku yang ditulis oleh J.S. Khairen
tersebut menceritakan cara mengajar ala Profesor Rhenald
Kasali, Ph.D yang unik. Kita semua sudah tahulah siapa Profesor Rhenald
Kasali, Ph.D atau Rhenald Kasali.
Sebagai dosen mata kuliah Pemasaran Internasional, beliau menugaskan
mahasiswanya pergi ke luar negeri sendirian. Tujuannya demi membentuk karakter
para mahasiswanya supaya mampu mendrive
dirinya sendiri, bukannya menjadi passengers
yang pasif, yang hanya mengikuti arahan orang lain.
Praktiknya, Profesor Rhenald meminta tiga puluh orang mahasiswanya membuat
paspor dan menyusun rencana kegiatan di suatu negara. Satu negara HANYA boleh
dikunjungi oleh satu orang mahasiswa. Kalaupun terjadi satu negara menjadi
tujuan dua orang mahasiswa, tetap saja keduanya tidak boleh berada di daerah
yang sama.
Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Timor Leste tidak masuk ke
dalam daftar negara yang bisa dikunjungi, karena ada kemiripan bahasa.
“Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau,” demikian pesannya.
Jadilah anak-anak muda yang sehari-hari berkutat dengan kegiatan kampus,
terbang ke berbagai negara. Laos, Jerman, Korea Selatan, Islandia, Jepang,
Taiwan, Birma menjadi kampus kehidupan tempat mereka belajar banyak hal, lebih
dari sekadar memenuhi tugas kuliah maupun jalan-jalan. Mereka akan mengalami
hal yang bahkan tak terpikirkan sebelumnya.
Paspor, yang kita kenal selama ini sebagai dokumen pass to the port (melintasi batas wilayah), nyatanya memiliki
kekuatan lebih dari sekadar dokumen resmi negara. Paspor bisa jadi sarana
meraih impian: sekolah ke luar negeri! Paspor bisa berfungsi untuk mendatangkan
uang. Pun, paspor juga punya peran menggembleng karakter kita.
Karena Perempuan Punya Inner
Power
Indonesia pernah
kebobolan agen rahasia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Kala itu,
seorang perempuan berhasil menembus istana. Mengaku ingin belajar kebudayaan
Indonesia, Pat Price, demikian nama utusan CIA itu berkeliaran dengan bebas di
sekitar sang presiden dan anak-anaknya.
Terlepas dari
kemampuan personal dan kelihaian dalam menyamar, kita diajak melihat sekaligus
menyadari bahwa di dalam diri seorang perempuan tersimpan inner power. Perempuan memiliki potensi untuk melakukan tugas yang
setara dengan laki-laki: kompleks, menuntut kehati-hatian, dan membutuhkan
strategi.
Deret ingatan akan inner power perempuan
bertambah manakala 20 Januari 2021 Amerika Serikat resmi mengangkat Kamala
Harris sebagai wakil presiden. Di dalam sejarah Amerika, perempuan yang
mewarisi darah India dari sang ibu dan Jamaika dari sang ayah, tercatat sebagai
wakil presiden perempuan keturunan Asia-Amerika dan sebagai wakil presiden
kulit hitam pertama!
Seorang Kamala Harris tentunya memiliki inner
power sehingga profil sebagai perempuan cerdas melekat kuat padanya.
Setelan ungu yang dikenakan saat inagurasi, yang membawa makna seorang yang
tidak berpihak, mempersatukan, dan memiliki rasa solidaritas, memperkuat citra
perempuan yang mampu masuk ke ranah universal.
Saya memperkirakan, selain kemampuan teknis, Mbak Pat Price memiliki
kemampuan public speaking yang
mumpuni sehingga aksinya berjalan mulus. Identitasnya justru terkuak lantaran
informasi yang diberikan Presiden Pakistan Ayub Khan.
Kamala Harris memiliki inner power.
Ia seorang pemberani dan memiliki kemampuan berargumen secara cerdas dan tajam.
Yang juga tidak kalah penting adalah Kamala dapat menerima latar belakangnya
sebagai seorang kulit berwarna dan tetap mengaku diri sebagai orang Amerika.
Sebagai seorang politikus perempuan kulit hitam, ia memiliki ambisi untuk
meraih posisi tertinggi di dunia politik Amerika yang masih didominasi
laki-laki dan kulit putih. Hal itu didukung oleh asal-usulnya sehingga
memampukannya hidup dan berelasi dengan orang-orang berbagai ras di Amerika.
Lalu, siapa lagi perempuan yang memiliki inner power?
Jawabannya adalah: Kita!
Kita semua
memiliki inner power di dalam diri
masing-masing. Kita memiliki kecerdasan di berbagai bidang, keterampilan,
kemampuan bertahan saat menghadapi masalah, dan inner power lainnya di dalam raga perempuan. Kita pun memiliki
impian yang bisa digapai. Impian dan harapan sebagai perempuan ini adalah inner power tersendiri.
Sebelum menutup
tulisan ini, saya mau membagi nukilan lirik yang diambil dari lagu soundtrack film The Sound of Music yang berjudul Climb Every Mountain.
Climb
every mountain
Ford
every stream
Follow
every rainbow
'Till
you find your dream
Climb Every Mountain menjadi momen penting saat pelaku sentral cerita
yakni Kapten Von Trapp sekeluarga mengungsi dari kejaran tentara Nazi. Dan
selama saya melihat adegan keluarga tersebut naik ke pegunungan disertai lagu
tersebut, saya merasakan adanya harapan, kekuatan, semangat supaya terwujud asa
dan cita.
Pengen seperti
Kamala Harris atau Pat Price yang ahli di bidangnya? Kembali saya mengutip
kalimat yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali, Ph.D di dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor #1,
“orang-orang besar itu adalah the
climbers, bukan the campers,
apalagi the quitters”. Bikin paspor, genggam erat paspormu sembari daraskan doa, hidupi inner power di dalam diri.
Mari wujudkan!