Kamis, 27 Mei 2021

Seni Berkicau di Koran

Saya pengin berbagi cerita buat teman-teman pembaca setia blog saya. Cerita lama sih, tapi nggak ada salahnya tetap dibagikan. Siapa tahu, di antara teman-teman pembaca ada yang punya pengalaman serupa ya, kan? Jadi kita bisa lempar-lemparan cerita. Teman-teman bisa share di kolom komentar. Kalau Youtuber mengatakan bahwa subscribe itu gratis, maka komen di blog saya pun sama gratisnya! Berikut ceritanya.

Puji Tuhan, tahun 2014 saya dapat kesempatan (lagi) masuk Kompas bagian Klasika hahaha. Eits, jangan buru-buru menyepelekan. Klasika juga bagian dari Kompas lho! Iya, kan? Kalau nggak ada Klasika, iklan Kompas dimuat di mana? Mau baca koran tapi di tengah-tengahnya ada iklan segede gaban?


Tepatnya, karya saya dimuat di bagian "kicauan" pada beberapa edisi, secara berurutan maupun lompat nomor, dalam rangka menyambut Natal 2014 dan Tahun baru 2015. Senang, dong, pastinya. Siapa tahu, munculnya "kicauan" saya di lembar Klasika jadi awal yang baik. Kelak, tulisan saya bisa dimuat di Kompas atau profil saya yang muncul di Soca Kompas Minggu. (Tolong, dong, bantu diamini).

"Kicauan" 2014 merupakan "kicauan" tahun kedua yang dimuat oleh Klasika. Akhir tahun 2013, Klasika pernah memuat beberapa "kicauan" saya di beberapa edisi. Sebagai bentuk apresiasi, saya berhak mendapat buku karya Renee Suhardono (career coach ituhhh)

FYI, buku berjudul #UltimateU2 ini secara kebetulan masuk ke wishlist, karena isinya (menurut saya) keren dan inspiratif. Harganya yang mahal untuk ukuran saya (Cek di sini) menuntut saya harus ngumpulin receh lebih dulu. Tak disangka, nggak perlu nunggu lama, buku yang pernah saya elus covernya waktu di toko buku itu bisa dimiliki. Tanpa keluar uang sepeser pun! Betapa ajaib hidup ini!

"Kicauan" saya sederhana saja: berdasarkan kejadian sehari-hari dan yang menjadi harapan di masa yang akan datang. Kebetulan momennya pas: Natal dan Tahun Baru, ditambah Klasika memberi ruang  ekspresi bagi para pembacanya. Ya, seakan sudah diatur oleh semesta, semua terjadi dengan sendirinya dan begitu mudah.

Bagaimana caranya bisa dimuat?

Sependek pengetahuan saya, sih, ber"kicau"nya nggak asal, tapi nunggu difeed sama Klasika lebih dulu kemudian saya reply (singkat tapi menjawab) disertai hashtag (tagar alias tanda pagar) untuk memudahkan admin menyortir. 

Tahun 2014, hashtagnya #KicauSN. Catatan bagi Anda yang ingin "kicauan"nya dimuat, ikuti aturan mainnya  dan bila ada tanda-tanda mau dimuat, pihak Klasika kasih sign kicauan saya dimasukkan ke fav (barangkali biar mudah memilahnya, tidak perlu ngaduk-aduk timeline)

Begitu dapat notification tweet saya masuk fav, berarti ada harapan "kicauan" saya bakal dimuat. Namun, sebelum ada buktinya, senangnya ditahan dulu, ya, daripada telanjur senang ternyata nggak dimuat kan bikin kuciwa.  

Keesokan pagi, cek Klasika. Kebetulan, saya rutin membeli Koran Kompas. Adakah "kicauan" saya di sana? Kalau dimuat, senanglah hati. Mau diekspresikan dengan cara apa? Jingkrak-jingkrak? Atau mau difoto kemudian dipost ke Twitter? Bisaaaa! Jangan lupa, mention Klasika. Siapa tahu bakal diretweet.[]


Selasa, 25 Mei 2021

Mei: Yang Takterceritakan

Catatan Pengantar:
Saya menemukan tulisan yang dibuat jelang hari ulang tahun saya. Membaca ulang tulisan yang dibuat enam tahun silam itu membentuk residu kesan: waktu berlalu begitu cepat, kenangan akan saat-saat masih berumur awal kepala tiga, dan siapa-siapa saja yang masih bersama saya. Saya pun diingatkan akan cerita yang sempat terlupakan lantaran begitu banyak peristiwa merebut ruang ingatan dan perhatian saya akhir-akhir ini. Beruntungnya tulisan ini ditemukan. Maka, tak ingin tersimpan makin lama, ada baiknya segera diunggah. Yogyakarta, Mei 2021

***
 

Selalu ada kisah menarik tentang kelahiran makhluk hidup. Selalu dan selalu terceritakan lagi, berulang, dan kembali dalam pertemuan yang melibatkan keluarga atau orang-orang yang diharapkan mengetahui kisah masa lalu itu. Salah satu dari sekian banyak cerita kelahiran yang akan diceritakan ulang berkaitan dengan kelahiran saya. Berkaitan lho ya, bukan cerita detik demi detik hadirnya saya ke dunia ini. 

Bulan Mei, saya akan genap berusia tiga puluh tahun. Bila orang lain memilih untuk keep silent, menyembunyikan umurnya, atau memilih berbohong akan fakta usia, saya lebih memilih untuk ngomong apa adanya saja. Toh, memang benar, usianya tiga puluh, kok. Lagipula, dengan memilih berkata jujur, bisa diartikan sebagai bentuk syukur atas karunia Tuhan terhadap saya. Jika Tuhan berkehendak lain, belum tentu saya bisa menikmati ulang tahun ketigapuluh. Lho?! 


 

Iya, jika nasib saya tertukar, bisa jadi bukan saya yang hidup sampai detik ini, menikmati kesempatan tumbuh, menjalani masa kecil di kampung yang tak jauh dari ikon Kota Yogyakarta, mendapat jatah pendidikan hingga tingkat universitas, bahkan berkesempatan menikmati rupa-rupa kehidupan termasuk ngeblog.

Tidak banyak yang tahu bila kelahiran saya, suka cita orang tua saya, dan kebahagiaan keluarga besar saya menyambut penerus keluarga sempat diwarnai peristiwa yang kurang mengenakkan. Bukan menimpa orang tua atau keluarga besar saya, sih, melainkan orang lain. Sayangnya, orang lain itu berelasi dengan orang tua saya. Mereka saling mengenal.

Tiga puluh tahun silam, pada waktu yang nyaris berbarengan, dua orang ibu hendak melahirkan di sebuah rumah sakit. Secara teritori, rumah sakit itu masuk Kabupaten Sleman. Bayi yang dikandung ibu saya lahir selamat tepat pukul satu dini hari dan berjenis kelamin perempuan. Dia kemudian diberi nama Ratri sesuai waktu kelahirannya. Sementara... Bayi ibu yang satunya meninggal. 

Saya tidak tahu kejadian persisnya waktu itu seperti apa: bagaimana kejadiannya, kenapa bisa terjadi. Meskipun mungkin ibu saya bisa menjelaskan tetapi saya belum ada ketertarikan untuk mengulik lebih dalam. Mungkin, yang saya rasakan adalah untuk apa mengungkit luka batin orang lain dan hal itu -bagi saya pribadi- tidak baik untuk diingat. Oleh sebab itu, saya hanya menerima yang disampaikan oleh ibu saya meski hanya bagian kecil cerita saja. Sudah cukup.

Yang namanya kehilangan anak, membuat kenangan itu susah pupus bahkan hingga bertahun berlalu. Manusia dibekali ingatan yang panjang bila menyangkut peristiwa penting dalam hidupnya terlebih peristiwa buruk. Kenangan akan peristiwa itu membekas sampai kapanpun. Dan benar, teman ibu saya ternyata masih mengingat saat dia kehilangan anaknya walaupun waktu telah berjalan melebihi angka sepuluh tahun, dua puluh tahun. 

Saking terkenang, teman ibu saya berkisah, kalau melihat saya, seperti melihat anaknya yang hanya sekejap melihat dunia. Anaknya yang tidak sempat tumbuh besar. Tiap kali melihat saya jalan kaki berangkat sekolah, beliau akan bercerita kepada ibu saya bahwa beliau melihat saya jalan kaki menuju sekolah.

Begitu pun ketika bertatap muka dengan saya. Beliau selalu mengatakan pada teman-temannya, yang saat pertemuan itu berada di ruang yang sama, bahwa jika anaknya hidup, pasti sudah segede saya saat itu. Mendengarnya, perasaan saya dibuat nggak karuan. Merasa nggak enak, karena penampakan saya bikin orang lain mengingat pengalaman kurang mengenakkan. Jadinya saya cuma tersenyum simpul dan speechless.

Sempat saya berpikir, ya Tuhan, apakah saya merampas hak hidup orang lain? Untuk apa bayi itu lahir jika kemudian dia kembali lagi kepada penciptanya? Penasaran, kira-kira siapa yang lahir lebih dulu? Saya atau dia? Apakah saat itu ada undian nyawa? Suit? Apakah sebelum dilahirkan saya "batu-kertas-gunting" dulu?

Ada yang bisa bantu jawab?

Seandainya saja bayi itu hidup, pasti saat ini kami sepantaran dan di tanggal yang sama kami akan merayakan ulang tahun kami yang ketigapuluh. Saya akan berbahagia meski nasib melukiskan perbedaan. Mungkin, saat ini, bayi itu telah bekerja, menikah lalu punya anak. Atau barangkali dia masih lajang tapi telah keliling dunia?

Tuhan memilih saya pasti ada alasannya. Satu, dua atau banyak alasan kenapa saya yang dipilih untuk bernapas sampai detik ini, esok, lusa, dan seterusnya. Bukan dia melainkan saya. Tuhan pilih saya. Tuhan ingin saya melakukan sesuatu. Misi yang Dia titipkan untuk dijalankan. 

Mendekati hari lahirku, 26 Mei, saya diingatkan agar senantiasa mengucap syukur dan mendekatkan diri kepada Tuhan yang telah memberiku kesempatan hidup.

Happy birthday to me...

Happy birthday to me...

Happy birthday... Happy birthday... Happy birthday to me...

Terima kasih Tuhan. Mohon penyertaanMu di setiap langkahku, langkah besar maupun kecil, agar 'ku takberjalan sendiri dan kehilangan arah. []


Senin, 24 Mei 2021

Perempuan dan Paspornya

“Buat apa bikin paspor?

Paspornya saja belum jadi, baru rencana, tapi sudah pada bertanya untuk apa bikin paspor.

“Mau ke mana?

Duh, memangnya bikin paspor harus pergi ke mana gitu dalam waktu dekat? Nggak, kan?

Abai dengan segala rupa pertanyaan, saya pun kukuh hati bikin paspor. Bermodal Rp400.000,00, hal pertama yang saya lakukan adalah berburu antrean paspor baru menggunakan aplikasi imigrasi yang sebelumnya diunduh ke handphone.

Sembari menunggu keluarnya antrean paspor, langkah berikutnya adalah mengumpulkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan (Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk serta fotokopinya plus materai 6000).

Saat saya mengajukan permohonan bikin paspor baru, dunia persilatan masih aman sentosa. Bepergian ke luar negeri untuk berbagai urusan gampang-gampang aja asal nggak kena “red notice”. Kita semua masih bebas bertemu orang tanpa diwajibkan jaga jarak, pakai masker dengan spesifikasi tertentu maupun faceshield sebagai pelindung tambahan badan.

Ketika berada di tempat umum, belum dijumpai stiker “tanda silang” untuk menandai tempat yang tidak boleh diduduki atau gambar tapak kaki penanda kita harus berdiri berjarak dengan orang lain. Pun, kita masih bebas lompat sana lompat sini tanpa ada syarat tes rapid, PCR atau Swab Antigen.

Setelah paspor warna hijau dengan gambar lambang negara tersebut jadi, saya tak jua ke mana-mana. Sampai sekarang, paspor yang memiliki masa berlaku lima tahun itu tersimpan rapi di dalam wadah penyimpan dokumen di rumah. Stempel yang ada di dalam paspor baru stempel imigrasi.

“Rugi, dong,  buang duit untuk paspor hijau 48 halaman?“

Bagi saya, tidak ada kerugian sedikitpun atas keputusan bikin paspor. Bodo amat juga kalau ada yang mengatai saya. Penggunaan paspor hanyalah soal waktu. Saya percaya, usaha manusia akan bertemu dengan takdir Tuhan sehingga jadilah chemistry yang apik. Dengan menggenggam paspor WNI, sama halnya saya selangkah lebih maju menjemput cita-cita.

Paspor inilah yang kelak akan membawa saya menjadi seorang mahasiswi dan mengenal dunia lebih luas dibanding ukuran kamar saya bahkan luasnya Kota Yogyakarta yang hanya 46 meter persegi. Kalau Malcolm X berujar, “Education is the passport to the future” maka langkah pertama meraih “education” itu adalah kepemilikan paspor warga negara lebih dulu.

Gimana mau sampai Ostrali, Kanada, Inggris, Amerika, Korea Selatan kalau nggak punya paspor. Lha wong mau ke Singapura dan Malaysia yang tetangga mepet halaman rumah saja tetap butuh paspor, ya nggak?

Kekuatan Paspor

Pernah saya membaca buku berjudul 30 Paspor di Kelas Sang Profesor #1. Buku yang ditulis oleh J.S. Khairen tersebut menceritakan cara mengajar ala Profesor Rhenald Kasali, Ph.D yang unik. Kita semua sudah tahulah siapa Profesor Rhenald Kasali, Ph.D atau Rhenald Kasali.

Sebagai dosen mata kuliah Pemasaran Internasional, beliau menugaskan mahasiswanya pergi ke luar negeri sendirian. Tujuannya demi membentuk karakter para mahasiswanya supaya mampu mendrive dirinya sendiri, bukannya menjadi passengers yang pasif, yang hanya mengikuti arahan orang lain.

Praktiknya, Profesor Rhenald meminta tiga puluh orang mahasiswanya membuat paspor dan menyusun rencana kegiatan di suatu negara. Satu negara HANYA boleh dikunjungi oleh satu orang mahasiswa. Kalaupun terjadi satu negara menjadi tujuan dua orang mahasiswa, tetap saja keduanya tidak boleh berada di daerah yang sama.

Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Timor Leste tidak masuk ke dalam daftar negara yang bisa dikunjungi, karena ada kemiripan bahasa. “Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau,” demikian pesannya.

Jadilah anak-anak muda yang sehari-hari berkutat dengan kegiatan kampus, terbang ke berbagai negara. Laos, Jerman, Korea Selatan, Islandia, Jepang, Taiwan, Birma menjadi kampus kehidupan tempat mereka belajar banyak hal, lebih dari sekadar memenuhi tugas kuliah maupun jalan-jalan. Mereka akan mengalami hal yang bahkan tak terpikirkan sebelumnya.

Paspor, yang kita kenal selama ini sebagai dokumen pass to the port (melintasi batas wilayah), nyatanya memiliki kekuatan lebih dari sekadar dokumen resmi negara. Paspor bisa jadi sarana meraih impian: sekolah ke luar negeri! Paspor bisa berfungsi untuk mendatangkan uang. Pun, paspor juga punya peran menggembleng karakter kita.

Karena Perempuan Punya Inner Power

Indonesia pernah kebobolan agen rahasia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Kala itu, seorang perempuan berhasil menembus istana. Mengaku ingin belajar kebudayaan Indonesia, Pat Price, demikian nama utusan CIA itu berkeliaran dengan bebas di sekitar sang presiden dan anak-anaknya.

Terlepas dari kemampuan personal dan kelihaian dalam menyamar, kita diajak melihat sekaligus menyadari bahwa di dalam diri seorang perempuan tersimpan inner power. Perempuan memiliki potensi untuk melakukan tugas yang setara dengan laki-laki: kompleks, menuntut kehati-hatian, dan membutuhkan strategi.

Deret ingatan akan inner power perempuan bertambah manakala 20 Januari 2021 Amerika Serikat resmi mengangkat Kamala Harris sebagai wakil presiden. Di dalam sejarah Amerika, perempuan yang mewarisi darah India dari sang ibu dan Jamaika dari sang ayah, tercatat sebagai wakil presiden perempuan keturunan Asia-Amerika dan sebagai wakil presiden kulit hitam pertama!

Seorang Kamala Harris tentunya memiliki inner power sehingga profil sebagai perempuan cerdas melekat kuat padanya. Setelan ungu yang dikenakan saat inagurasi, yang membawa makna seorang yang tidak berpihak, mempersatukan, dan memiliki rasa solidaritas, memperkuat citra perempuan yang mampu masuk ke ranah universal.

Saya memperkirakan, selain kemampuan teknis, Mbak Pat Price memiliki kemampuan public speaking yang mumpuni sehingga aksinya berjalan mulus. Identitasnya justru terkuak lantaran informasi yang diberikan Presiden Pakistan Ayub Khan.

Kamala Harris memiliki inner power. Ia seorang pemberani dan memiliki kemampuan berargumen secara cerdas dan tajam. Yang juga tidak kalah penting adalah Kamala dapat menerima latar belakangnya sebagai seorang kulit berwarna dan tetap mengaku diri sebagai orang Amerika.

Sebagai seorang politikus perempuan kulit hitam, ia memiliki ambisi untuk meraih posisi tertinggi di dunia politik Amerika yang masih didominasi laki-laki dan kulit putih. Hal itu didukung oleh asal-usulnya sehingga memampukannya hidup dan berelasi dengan orang-orang berbagai ras di Amerika.

Lalu, siapa lagi perempuan yang memiliki inner power?

Jawabannya adalah: Kita!

Kita semua memiliki inner power di dalam diri masing-masing. Kita memiliki kecerdasan di berbagai bidang, keterampilan, kemampuan bertahan saat menghadapi masalah, dan inner power lainnya di dalam raga perempuan. Kita pun memiliki impian yang bisa digapai. Impian dan harapan sebagai perempuan ini adalah inner power tersendiri.

Sebelum menutup tulisan ini, saya mau membagi nukilan lirik yang diambil dari lagu soundtrack film The Sound of Music yang berjudul Climb Every Mountain.

Climb every mountain

Ford every stream

Follow every rainbow

'Till you find your dream

Climb Every Mountain menjadi momen penting saat pelaku sentral cerita yakni Kapten Von Trapp sekeluarga mengungsi dari kejaran tentara Nazi. Dan selama saya melihat adegan keluarga tersebut naik ke pegunungan disertai lagu tersebut, saya merasakan adanya harapan, kekuatan, semangat supaya terwujud asa dan cita.

Pengen seperti Kamala Harris atau Pat Price yang ahli di bidangnya? Kembali saya mengutip kalimat yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali, Ph.D di dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor #1, “orang-orang besar itu adalah the climbers, bukan the campers, apalagi the quitters”. Bikin paspor, genggam erat paspormu sembari daraskan doa, hidupi inner power di dalam diri.

Mari wujudkan!