"Guguran Bunga di Patung Pieta" adalah tulisan saya yang dimuat di Majalah Utusan Nomor 10 Tahun ke-70, Oktober 2020. Judul asli sesuai naskah yang dikirim melalui e-mail ke redaksi Majalah Utusan adalah Iman yang Sederhana. Mungkin, redaksi memiliki pertimbangan tertentu untuk mengubah judul.
Perjumpaan dipilih sebagai dasar penulisan artikel yang mengisi rubrik Keranjang tersebut. Seperti ditulis Laura Klarfeld, “People are guests in our story, the same way we are guests in theirs.
But we all meet each other for a reason because every person is a
personal lesson waiting to be told”, maka Pak Yusuf dan Bu Lusia adalah guest (tamu) di dalam perjalanan hidup saya.
Jika perjumpaan kami adalah bagian dari takdir, tentunya di balik takdir, terdapat alasan (reason) untuk mempertemukan. Ketika terjadi perjumpaan itulah, cerita saya melebur jadi cerita kami (our story). Cerita milik kami bertiga (personal lesson) hendak dibagikan (told) kepada orang-orang.
Apakah tokoh Bu Lusia dan Mbah Yusuf benar-benar nyata?
Bu Lusia dan Mbah Yusuf adalah tokoh nyata. Saat cerita itu terjadi, keduanya hidu dan ada di lingkungan hidup masing-masing. Namun, namanya bukan Bu Lusia dan Mbah Yusuf. Saya memberinya nama "Bu Lusia" dan "Mbah Yusuf", karena tidak tahu nama asli keduanya. Kalaupun saya tahu, saya tetap bersikukuh memakai nama fiktif. Meskipun fiktif, saya pilihkan nama terbaik untuk kedua tokoh; sesuai dengan kepribadian yang mampu saya tangkap lalu diubah ke dalam sebuah nama.
Berikut adalah teks dan judul asli diikuti teks dan judul setelah melewati meja redaksi. Selamat berkenalan dengan Bu Lusia dan Mbah Yusuf!
***
IMAN YANG SEDERHANA
Beragam cara manusia mengungkapkan iman kepada Allah. Sebut saja mengikuti
misa harian setiap hari, rajin mendoakan berbagai macam devosi, dan menjalani
latihan rohani. Mulai dari kerap beramal, ziarah ke gua Maria, retret, hingga aktif
sebagai anggota Dewan Paroki maupun tim pelayanan Gereja. Tidak ada yang salah
dengan semuanya itu. Namanya saja ungkapan iman kepada Allah. Ibarat orang
jatuh cinta, selalu ada energi pendorong untuk melakukan segala sesuatu, mulai
dari hal yang paling sederhana hingga mencapai hal-hal besar. Allah pun tidak
akan menolak ungkapan iman yang paling sederhana sekalipun.
Agustus 2019. Kala itu, saya tengah mengunjungi sebuah
gereja di kawasan Jakarta Pusat. Kaki
saya melangkah menuju gua Maria yang berada di dalam kompleks gereja. Gua Maria yang wajib dikunjungi
setiap kali ke Jakarta, entah itu disisipkan di antara agenda atau mampir sembari
menunggu kereta yang akan membawa pulang ke Yogyakarta. Suasana hening dan
damai yang dihadirkan di gua Maria tersebut seakan menjadi penyeimbang ingar
bingar kota metropolitan. Betah rasanya
berlama-lama berdoa dan mencurahkan segala isi hati di
tempat ini.
Usai berdoa dan mencurahkan segala isi hati, saya
tidak langsung meninggalkan kompleks gereja. Saya menunggu datangnya seorang
sahabat, karena kami sudah janjian. Sembari menanti, perhatian saya tertuju
pada seorang perempuan lanjut usia. Badannya tidak terlalu tinggi. Penampilan beliau
sungguh sederhana. Kita sebut saja beliau “Bu Lusia”.
Bukannya menyalakan lilin, meletakkan rangkaian
bunga lalu berdoa di depan Patung Bunda Maria seperti yang dilakukan pengunjung,
Bu Lusia malah sibuk membersihkan tempat lilin yang letaknya berseberangan
dengan patung Bunda Maria. Lelehan-lelehan lilin yang melekat dikerok lalu disemprot
dengan air mengalir dari selang. Alhasil, tempat lilin jadi bersih. Tuntas memerhatikan
Bu Lusia, saya kembali pada tujuan saya: menunggu kedatangan sahabat.
Ketika tengah menunggu datangnya sahabat saya, Bu
Lusia menghampiri dari balik punggung. Ada apa gerangan, pikir saya.
Jangan-jangan, saya diminta mengembalikan empat buah lilin yang saya ambil.
Padahal, saya, kan, sudah memasukkan sumbangan lilin. Ternyata, saya diminta
untuk mengatur posisi duduk supaya tidak membelakangi patung Bunda Maria. Dan selama
saya berada di sekitar gua Maria, tampak beberapa pengunjung menerima teguran
serupa: tidak boleh duduk membelakangi Bunda Maria.
Sosok dan aksi Bu Lusia mengingatkan saya pada
seorang laki-laki tua di salah satu gereja di Kota Yogyakarta.
Panggil saja dengan nama “Mbah Yusuf”. Ubannya putih sempurna, pendengarannya
sudah berkurang, jalannya pun tertatih-tatih. Mbah Yusuf berusaha menyapa dan menyalami
orang yang beliau kenal di gereja.
Kebiasaan khas Mbah Yusuf tiap kali mengikuti perayaan
Ekaristi harian sore adalah beliau tidak pernah pindah tempat duduk, kecuali
tempat duduknya telah diduduki orang. Yang paling mengesankan, Mbah Yusuf selalu
datang ke gereja sangat-sangat awal. Saya pernah melihat Mbah Yusuf jalan kaki memasuki
gerbang gereja sekitar pukul 16.00, padahal perayaan Ekaristi harian sore hari
baru dimulai pukul 17.30!
Seperti halnya Bu Lusia, Mbah Yusuf peduli akan
kebersihan dan ketersediaan sarana doa di gerejanya itu. Biasanya, begitu sampai
di dalam gereja, Mbah Yusuf akan “patroli” untuk memeriksa stok lilin doa dan
korek api yang berada di tempat umat biasa berdoa. Memang, tidak seperti ketika
bertemu Bu Lusia, saya tidak pernah ditegur Mbah Yusuf. Akan tetapi, benak saya
tidak akan lupa bahwa Mbah Yusuf pernah mengambili remah-remah bunga, yang jatuh
dari rangkaian yang menghiasi meja patung Pieta supaya area patung Pieta terjaga
kebersihannya.
Perjumpaan dengan Bu Lusia dan Mbah Yusuf membuat
saya berpikir soal iman yang dipraktikkan melalui hal-hal sederhana, tetapi
konkret: membersihkan lelehan lilin, menegur orang yang duduk membelakangi
Bunda Maria, mengisi ulang lilin sarana doa, mengisi ulang korek api untuk
menyalakan lilin doa atau memunguti bagian bunga yang berguguran di sekitar
patung Pieta. Akan tetapi, iman itu ditunjukkan secara nyata sebagai wujud
cinta kepada Allah. Raga yang menua tidak menghalangi seseorang untuk
mengimplementasikan imannya.
Tentu sah-sah saja bila ada orang yang berusaha
menunjukkan imannya dengan gagah berani, melalui perbuatan-perbuatan besar.
Bahkan, tidak sedikit pula yang menjadi martir demi mempertahankan iman dan
memperlihatkan cintanya kepada Allah. Tidak sedikit para kudus di dalam Gereja
kita yang mewujudkan iman melalui berbagai tindakan luar biasa, yang kerapkali
sulit dicari padanannya saat ini.
Akan tetapi, amatlah disayangkan andaikata segala
tindakan kepahlawanan dan luar biasa itu pada akhirnya hanya sebagai asesoris
pemanis, tetapi kosong di dalam. Seseorang bisa saja berkoar-koar soal iman,
menampilkan diri seolah-olah sebagai sosok yang dapat diteladani di dalam
Gereja, melakukan banyak hal yang tampaknya terpuji. Bahkan, mungkin banyak
orang yang mengelu-elukan sebagai orang beriman atau orang suci. Sayang sekali
bila, di balik itu semua, ternyata ia tidak sungguh-sungguh mencintai-Nya dan
justru berkutat mencari pujian belaka. Ia sesungguhnya kosong di dalam, karena tanggapannya
akan cinta Allah hanyalah pura-pura.
Bu Lusia dan Mbah Yusuf mengajarkan kepada saya
bahwa iman tidak perlu dibicarakan dan dipraktikkan secara muluk-muluk. Iman
yang sederhana itu diwujudkan tanpa ditingkahi banyak laku yang heroik. Biarpun
tidak muluk-muluk dan tanpa perbuatan besar, gerak iman itu tetap menjadi gerak
hati yang didasari oleh cinta kepada Allah. Jika tidak mewujudkan iman secara
konkret, hati terasa gelisah. Gerak hati yang gelisah itulah yang membangunkan
diri untuk beraksi.
Tindakan nyata Bu Lusia dan Mbah Yusuf mengantar
saya pada kutipan apik dari Pater Pedro Arrupe, S.J. Mantan pemimpin umum
Serikat Yesus periode 1965-1983 ini pernah mengungkapkan kata-kata yang menyentuh
kedalaman hati saya: fall in love, stay
in love, and it will decide everything (jatuh cintalah, tinggallah di dalam
cinta, dan semua itu akan menentukan segalanya). Pesan tersebut disampaikan
oleh Pater Arrupe di dalam salah satu renungannya di hadapan para biarawati.
Pater Arrupe sendiri tidak hanya mampu
berkata-kata indah seperti itu. Beliau secara konsekuen mempraktikkannya pula
di dalam hidup sehari-hari. Di dalam artikelnya di American Magazine terbitan 12 November 2007, Kevin Burke, S.J.
mengungkapkan bahwa Arrupe memang menunjukkan diri sebagai seseorang yang mampu
“menemukan Allah di dalam dunia yang retak ini”. Bahkan, disebutkan juga bahwa
beliau “belajar untuk mempercayai cinta”.
Saya bersyukur boleh berjumpa dengan Bu Lusia dan
Mbah Yusuf serta Pater Pedro Arrupe, S.J. melalui kutipannya. Dengan
cara masing-masing, mereka telah mengajari saya mengenai cinta kepada Allah (fall
in love, stay in love) dan soal iman yang diungkapkan secara
sederhana (decide everything). Perwujudan yang sederhana itu bukan lantaran
tidak mampu melakukan hal-hal yang lebih besar. Justru Allah menghendaki suatu
tindakan praktis yang langsung dapat dilakukan dan menyuarakan cinta kita
pada-Nya secara konkret. “Apa yang kamu miliki dan mampu lakukan, persembahkanlah
sebagai tanda cintamu kepada-Ku,” mungkin Allah berkata demikian kepada Bu
Lusia, Mbah Yusuf, dan Pater Arrupe. Saya yakin, itu pula panggilan-Nya untuk saya,
Anda, kita semua. ***
Ratri Puspita