Home sweet home tak lagi asing bagi kita. Istilah yang menjadi motto bagi orang-orang yang merasa betah dengan rumahnya. Rumah itu bak permen yang membuat diri ceria. Ibarat semut, orang-orang enggan beranjak dari rumah yang manis itu. Home sweet home bikin kita mager, lebih senang berada di dalam rumah ketimbang menghabiskan waktu dengan nongkrong di cafe atau sebangsanya.
Rumah-rumah itu tersebar di berbagai tempat di seantero penjuru bumi, menetap pada pribadi seseorang, menjelma pada suatu komunitas berisi orang-orang yang memiliki latar belakang berlainan. Kita diajak menyadari akan istilah ‘rumah’ yang tidak harus disematkan bagi suatu bangunan tempat tinggal berunsurkan lantai, tembok, atap, jendela, pintu, dan pelengkapnya.
Windy Ariestanty, penulis buku Life Traveler, menemukan rumah justru di tempat yang ia singgahi: Ha Noi. Jauh, ya? Windy membagikan cerita “menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri” ketika ia bertandang ke ibu kota Viet Nam tersebut. Home away from home, demikian Windy merangkumnya dalam satu kalimat lantaran ia diperlakukan sangat baik, hangat oleh orang yang ditemuinya meski sadar bahwa mereka berbeda identitas. Sapaan, perhatian-perhatian kecil menjadi pondasi terbangunnya sebuah “rumah”.
Saya nggak mau kalah sama Windy dalam hal kepemilikan home sweet home. Saya pun memiliki home sweet home setelah menafsirkan lewat perjalanan, perasaan, dan peristiwa yang dialami. Bagi saya, “rumah” ialah suatu tempat yang mampu menghadirkan ketenangan, kedamaian, kenyamanan sekaligus kejujuran di dalamnya. Dan, yang tidak kalah penting adalah suasana tempat yang membuat tubuh saya merasa diterima bahkan sejak tapak pertama melangkah memasuki tempat tersebut.
Beda dengan Windy yang “rumah”nya nun jauh di mancanegara, setidaknya sudah ada tempat yang saya kenali sebagai “rumah”, yakni sebuah biara di kaki gunung Merbabu. Biara bernama Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono ini membuat saya rindu tiap kali memikirkannya, membuat saya betah berlama-lama di dalamnya, dan membuat saya enggan beranjak padahal kegiatan saya selama di tempat itu lebih banyak berdiam di dalam ruang doa. Semilir angin bercampur hawa dingin menerobos lewat jendela mungil lalu menyentuh kulit, membuat hanyut ke dalam kedamaian yang belum tentu ditemui kala berada di rumah saya sesungguhnya.
Scott Hahn punya cerita berbeda. Bagi seorang pencari iman dan kebenaran seperti dirinya, Gereja Katolik akhirnya menjadi tempatnya berhenti dan tinggal. Di sana ia merasa nyaman dan menemukan pencariannya serta tidak ingin beranjak lagi. Karena itulah Hahn menyebut Gereja Katolik (Roma) sebagai rumahnya. Jika “Roma” dapat disebut “rumah” seperti dikatakan oleh Hahn, tentunya kita dapat memaknai istilah itu secara baru pula.
Rumah dapat dimaknai lebih dari sekadar bangunan fisik yang terdiri atas elemen-elemen berupa atap, tembok, lantai, halaman, pagar, genteng. Wujud rumah tidak berhenti pada suatu bangunan, sarang, kandang yang secara fisik dapat digambarkan memiliki dinding, atap dan lantai. Lalu, bagaimana kita hendak meredefinisi kata “rumah”? Untuk saya, sahabat atau komunitas juga bisa disebut “rumah”. Bersama mereka, saya dapat bercanda dan bercerita dengan nyaman.
Setiap dari kami boleh menjadi diri sendiri yang otentik, dengan pendapat, cara berpikir, selera, keyakinan, iman, atau latar belakang kami masing-masing. Tidak ada rasa takut untuk saling mendekat dan berbagi walaupun ada banyak perbedaan di antara kami. Yang ada justru rasa betah dan gembira, mengalir bersama kreativitas yang seakan-akan tiada henti. Semuanya itu hanya dapat terjadi ketika saya benar-benar mengalami sahabat atau komunitas sebagai “rumah”.
Kita pun bisa menjadi rumah bagi orang lain. Bagi teman-teman, bagi orang yang baru pertama kali kita temui. Lebih bagus lagi jika kita mampu menjadi rumah bagi saudara kita yang berbeda iman. Memang, kita tidak bisa serta merta menawarkan “rumah” kepada mereka, karena merekalah yang sejatinya “membaptis” kita sehingga layak menjadi rumah baginya.
Kuncinya adalah membuka diri pada semesta persaudaraan. Dengan begitu, orang lain bahkan yang berbeda iman sekalipun merasa diterima, dihargai, direngkuh dalam kehangatan yang mungkin belum tentu ditemukan di tempat lain. Tentu, untuk menjadi “rumah” bagi sesama, jangan sampai identitas personal kita hilang.
Semangat para tokoh berikut dapat menjadi inspirasi bagi kita terkait dengan “rumah”. Pada 4 Februari 2019 lalu, Paus Fransiskus dan Ahmad el-Tayeb bertemu di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Pemimpin tertinggi Gereja Katolik dan Imam Agung Al-Azhar ini menandatangani “Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama”. Dengan menandatangani dokumen tersebut, mereka berdua ingin mempromosikan suatu dunia yang di dalamnya orang “memandang dalam diri sesamanya seorang saudara lelaki atau perempuan untuk didukung dan dikasihi”.
Bukankah hidup saling mendukung dan mengasihi sebagai saudara itu suasana yang sudah selayaknya terjadi di dalam suatu “rumah”? Maukah kita tumbuh menjadi rumah yang nyaman untuk berbagi cerita, singgah, tanpa orang lain mereka merasa takut bertatap muka, terintimidasi atau enggan bersapa hanya karena berbeda pendapat atau lain iman? []