"Pak, patokannya Burger King, ya..."
Jangan sampai terlewat. Memang, jika terlewat pun sebetulnya masih ada jalan tembus menuju Salemba Tengah. Tapi jauh lebih baik jika tidak perlu terlewat, bukan?
Tiba-tiba sopir taksi minta maaf padaku.
Lho?
Aku, yang melamun sembari melihat pemandangan di balik kaca mobil, tergagap. Kata-kata yang diucapkan sopir taksi tiada satu pun tercerna. Kelewat semuanya. Hanya suara yang kutangkap.
Orang lagi melamun, kok, diajak ngobrol. Bukan salah sopirnya, sih, he-he-he.
"Apa?" tanyaku kemudian.
Sopir mengatakan kalau dia minta maaf, karena mendiamkan aku sepanjang jalan. Ketika dia mengucap kalimat maaf, laju kendaraan sudah sampai di sekitar Kenari; tak lama lagi sampai di tujuan. Lanjutnya, dia bilang bahwa tidak terbiasa mengajak ngobrol penumpang.
Tidak masalah bagiku. Malah, aku merasa tidak nyaman kalau sopir bawel, brisik, apalagi ngobrolin hal yang menurutku nggak penting. Lebih enak kalau masing-masing saja. Sopir dengan tugas dan tanggung jawab mengantar penumpang dan saya dengan hidup dan urusan saya dari titik jemput hingga lokasi antar. Kalau ada yang perlu disampaikan, pasti akan saya sampaikan. Toh, misalkan jalannya tidak sesuai rute dan tanpa persetujuan dari saya, pasti saya bakalan ngomong.
Permintaan maaf sopir membawa pada suatu pengakuan, bahwa dia adalah mantan sopir ambulans Puskesmas sebelum menjadi sopir taksi online.
Hmmm... Selama jadi pengguna taksi online di Jakarta, baru kali ini disopiri mantan sopir ambulans. Tak disangka. Sepanjang jalan, sopir membawa kendaraan biasa aja; tidak menampakkan tanda bahwa dia pernah menjadi sopir ambulans. Smooth aja nyetirnya. Nggak ngebut layaknya sopir ambulans yang kulihat di jalanan.
Telanjur terjadi pembicaraan, sekalianlah aku pengen tahu soal etika mobil ambulans. Aji mumpung juga karena pertanyaannya ditujukan kepada orang yang tepat. Jadilah pertanyaan perdana meluncur dari mulutku, yakni aturan menyalakan sirene dan lampu rotator.
Ketika aku menjadi pengguna jalan (dan Anda tentunya), pasti punya pengalaman berbagi jalan dengan ambulans. Otomatis, kalau kita berada satu jalur dengan ambulans, kita akan membukakan jalan, mempersilakan ambulans jalan mendahului. Ternyata, mobil ambulans tidak harus selalu menyalakan dan membunyikan rotator sekaligus.
Pengetahuan soal menyalakan sirene dan membunyikan rotator sekaligus aku peroleh waktu nonton sebuah tayangan horor di Youtube. Narasumber tayangan horor tersebut adalah seorang sopir ambulans. Dan sesuai genre channel Youtube tersebut, materi wawancaranya seputar pengalaman horor yang langsung dialami oleh si sopir.
Si sopir, dalam petikan wawancaranya, mengatakan kalau penggunaan sirene dan rotator ada aturannya. Sirene dan rotator menyala kalau membawa pasien gawat darurat sedangkan kalau membawa jenazah, sirene tidak perlu dinyalakan, karena sifatnya sudah tidak mendesak.
Sambungnya, kalau mau pakai rotator, cukup lampunya saja tanpa suara sirene. Penjelasan sopir ambulans cocok sama pengetahuan yang dibagikan oleh ibuku. Ibu pernah bilang, kalau hanya menyalakan lampu tanpa bunyi sirene, ambulans tersebut membawa jenazah.
Beralih ke penggunaan rotator dan sirene menurut versi sopir taksi online-ku. Sopir taksi tersebut mengatakan kalau bawa jenazah tapi ambulan mengaktifkan sirene dan rotator, semata karena mengikuti kebiasaan.
Supir taksi online tak hanya membagikan pengetahuan tentang etika pemakaian rotator dan sirene, tetapi juga pengetahuan bahwa sopir ambulans dibekali skill Bantuan Hidup Dasar (BHD) untuk membantu pasien selama berada di dalam ambulans yang dikemudikannya. Tak hanya skill BHD, aku juga diberitahu kalau proses transfer pasien ke rumah sakit rujukan tidak bisa asal pindah.
Misalnya ada seorang pasien di Puskesmas butuh dirujuk ke rumah sakit. Puskesmas akan menghubungi beberapa rumah sakit sekaligus. Rumah sakit pertama yang merespons kontak dari Puskesmas itulah yang akan jadi rumah sakit rujukan. Setelah memperoleh rumah sakit rujukan pun, masih ada proses demi proses hingga akhirnya pasien pindah ke rumah sakit rujukan lalu memperoleh tindakan.
Pengalaman berkesan tak luput dibagikan. Supir taksi pernah membantu proses persalinan seorang ibu dan menjadi saksi pasien yang tidak tertolong. Bisa jadi cerita terus berlanjut kalau perjalanan masih sekian kilometer lagi. Sayangnya, cerita terpaksa terhenti karena aku sudah sampai di tujuan. Sebuah malam yang bermakna di mata seorang perantau di Jakarta...[]


0 comments:
Posting Komentar