Selasa, 18 November 2025

13 November, 4 Tahun yang Lalu


 
13 November 2021 jadi tanggal penting dalam seluruh hidupku. Mungkin Tuhan, berkolaborasi dengan semesta, telah merencanakan tanggal 13 November 2021 dalam sejarah hidupku. Akan tetapi, aku baru tahu ketika tanggal itu ada di tahun 2021.
 
13 November
 
Aku sudah selesai berkemas meskipun koper-satu-satunya koper-belum kukunci. Harusnya barang yang dibawa melebihi yang ada di depan mataku. Namun, keterbatasan ruang, sarana, tenaga juga biaya pindahan memaksa aku mengerem keinginanku membawa barang-barang pribadiku. 
 
Aku bisa mengambil barang-barang yang masih tertinggal ketika aku mudik. Ya, aku berencana akan mudik beberapa waktu setelah aku kerja di Jakarta. Apalagi bulan depan, kan, Natal dan Tahun Baru. Aku sudah gajian sehingga aku bisa beli tiket kereta, mudik, jajan bareng keluarga, ngasih uang saku buat keluarga. 

Jalan hidup rupanya membolak-balik rencana yang disusun oleh manusia. Sebuah peristiwa membuat aku berpikir bahwa rumah tak lagi sama. Rencana mentraktir keluarga dengan gaji pertama tidak pernah terjadi. Mudik? 
 
Tak lupa aku mengangkut buku-buku pribadiku. Inginku, aku tetap rajin menulis meskipun sudah aktif bekerja dari hari Senin hingga Jumat. Pikirku lagi, aku bakalan bisa menulis usai jam kerja dan week-end ketika kantor libur. Ternyata, pulang kerja aku malah ngider keliling Jakarta bersama temanku. Week-end pun sama, ngider Jakarta menemui hal baru. Nulis kalau benar-bentar punya intensi khusus atau lagi mood.
 
Aku berangkat ke Jakarta pakai kereta api eksekutif paling lama. Kereta tambahan. Bukan karena banyak duit (malah modalku tipis banget), tapi karena bawaanku banyak, koperku gede. Kalau naik kereta kelas premium, aku khawatir koperku nggak muat diletakkan di bagasi atas. 

Andaikata muat diletakkan di bagasi atas, kasian porter yang angkat ke atas karena berat banget. Pun, aku sengaja pilih kursi single biar gak usah naro koper ke atas. Barang bawaan bisa ditaro di depan kursiku persis. Pas turun, aku bisa tektokan sama porter.
 
Jelang berangkat, terjadi drama. Aku kesulitan mendapat taksi. Sampai-sampai, aku jalan ke muka gang demi nyetop taksi langsung. Kalau ketinggalan kereta, bisa-bisa aku keluar duit lagi. Gaji belum di tangan masa udah boncos duluan? Rasanya panik, takut ketinggalan kereta.

Dekat rumahku ada hotel bintang 4. Biasanya di depan hotel ada taksi nongkrong atau abis ngedrop tamu. Bermenit-menit menunggu, aku tak kunjung berhasil mendapatkan transportasi ke stasiun. Di sisi lain, jam terus bergerak menuju waktu keberangkatan yakni jam 11-an malam.
  
Hingga akhirnya...
 
Pamit sama wowo. Saat itu Wowo udah sakit-sakitan. Aku bilang sama Wowo ntar gajiku bisa buat keluarga, bisa buat jajanin Wowo. Wowo bilang gak usah pikirin gaji buat keluarga atau buat jajanin keluarga. Yang penting aku bisa kerja. Kurang lebih Wowo bilang begitu. 

Sedihnya, hanya 2 minggu berselang setelah aku berangkat ke Jakarta, Wowo meninggal. KFC Percetakan Negara jadi saksi air mataku tumpah, galau membuncah antara pengen pulang atau stay di Jakarta. Campur aduk perasaanku saat itu. Bersyukur aku ditemani seseorang malam itu. 
 
Ada unsur denial ketika aku memilih untuk tidak pulang. Tapi selama jam kerja, pikiranku kebagi dengan rumah. Cek grup yang mengabarkan situasi Wowo sudah dibawa pulang ke rumah, Wowo disemayamkan di teras karena petinya nggak muat masuk pintu utama, dan foto-foto pemakaman Wowo. Melihat foto Wowo pas di IGD dengan kondisi seperti "itu" bikin aku nangis. 
 
Di tahun-tahun akhir hidup Wowo, aku kerap berseberangan sama Wowo. Mungkin aku stres juga sehingga kebawa ke perilaku. Namun, ada omonganku yang konsisten mengatakan gimana-gimana Wowo punya peran besar dalam hidupku. Wowo yang jaga aku di rumah selama orang tuaku kerja. Wowo yang jemput aku sekolah. 

Wowo, ketika belum musim read aloud, udah read aloud duluan buat aku sehingga aku tidak menemui kesulitan membaca teks dan suka baca buku. Bersama Wowo, kami belanja bulanan dan jajan pempek Ny. Kamto di samping Ramai Mall. Wowo adalah guru kebersihan. Wowo juga koki terdebest yang mampu menghasilkan masakan rumah enak dibanding ibuku; yang akhirnya bikin aku susah adaptasi lidah sama menu rumahan di Jakarta. Banyaklah yang udah Wowo lakukan buat keluarga...
 
Malam itu Yogyakarta bagian Kota rintik hujan. Tanah basah. Kampungku sepi di saat aku mau berangkat ke Jakarta. Orang-orang memilih di dalam rumah. Akhirnya aku nemu becak. Pak Becak kugiring ke rumah, kunaikkan barang-barangku ke becak. Sedangkan aku diantar adikku naik motor.
 


Porter Membantuku Membawa Bawaan Merantau
 

Perjalanan dari rumah menuju stasiun terasa lama. Aku nggak bisa mendeskripsikan perasaanku. Langkahku perlahan tapi pasti menjauh dari rumah. Di satu sisi, inilah saat yang kutunggu, tapi saat yang kutolak sekaligus. Aku senang berada di rumah dengan apa adanya diriku, hidupku. Namun, aku juga menginginkan hidupku berubah. Aku menolak segala bentuk kegagalan dan kesia-siaan.  
 
Hanya ada Wowo di rumah. Sendiri. Ibu sudah tidak ada. Aku cuma bisa pamit dalam hati. Semoga Ibu memberiku restu. Aku ingin sebuah kebaikan. Aku menginginkan kemerdekaan. Aku mengharap pencapaian setidaknya buat diriku sendiri.[]
 

0 comments:

Posting Komentar