Senin, 23 April 2018

Melepas Serpih




Sekali dua kali, kita pasti merasa lelah, capai dengan hidup ini. Wajar. Sungguh manusiawi. Sekali kita berlari, sewaktu kita akan merasa lelah. Hidup, hidup saya, kadang terasa senang, bahagia, tapi tak jarang juga merasa susah, lelah, dan sedih. Saya nggak lagi mengeluh.

Serius!

Hidup saya saat ini memang so-so-lah. Sedikit berhasil, banyak gagalnya. Namun, saya serasa nggak dikasih energi cukup untuk mengeluh. Udah jalanin aja. Namun, sadarkah kita, apa sesungguhnya yang bikin hidup itu demikian melelahkan.

Lelah psikis yang memengaruhi lelah fisik. Beneran lho, tadinya saya nggak merasa capai fisik, tapi karena ada yang dipikirin, jadinya merembet ke fisik. Makanya, sebelum keburu ambruk, saya berupaya melepas serpih demi serpih yang menjadikan hidup ini terasa berat.

💢 Luapkan
Daripada ditahan, mau berat, setengah berat atau ringan; mau bisa menanggungnya atau butuh support orang lain, meluapkan segala rasa yang menekan hidup menjadi penting. Tidak salah jika kita hanya mampu menangis. Luapkan. Menangislah.

😃 Lepaskan
Hal kedua yang saya lakukan adalah melepaskannya. Saya kudu ikhlas bahwa segala sesuatu sudah direncanakan Tuhan termasuk apapun yang saya alami. Udah jadi jodohnya mau apalagi kalau nggak diterima sepaket lengkap.

💖 Lupakan
Kalau sudah sanggup bilang ikhlas (nggak sekadar omong doang), sanggup melepas, berikutnya adalah melupakan. Tarik napas panjang, sadari proses tarik napasnya, hempaskan perlahan... Ya sudahlah...

💝 Kehadiran Sahabat
Seumur-umur, saya belum pernah memiliki sahabat. Pernah, waktu masih abege, saya menahbiskan seseorang, cewek tentu saja, jadi teman terdekat saya dan saya belajar menyebut dia sebagai seorang sahabat. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, di tengah perjalanan, kami harus berselisih. Padahal, saya sering curhat sama dia. Gebetan kesayangan saya pun dia tahu. Perasaan saya ke laki-laki itu pun dia tahu. Eh, kok ya tega-teganya mengecewakan saya.

Saking kecewanya, saya nggak mau tegur sapa dia. Saya lupa berapa lama saya mendiamkan dia. Akibat luka yang demikian mendalam, saya nggak lagi percaya yang namanya sahabat. Mau lakik, mau cewek, gak ada yang namanya sahabat. Adanya hanya teman biasa. Dan saya berubah menjadi seorang yang tertutup, pantang bercurhat tralala trilili.

Hingga suatu hari, bertahun-tahun kemudian, saya dipertemukan dengan seseorang yang kemudian saya panggil dengan nama Susu Coklat (kisah saya dengan Susu Coklat akan diceritakan di dalam postingan berbeda). Butuh proses yang tidak sebentar hingga saya menjadikan Susu Coklat seorang sahabat. Ada jatuh bangunnya segala lho. Meski demikian, tidak pernah membuat saya terutama, menyudahi persahabatan. Sama seperti saya, Susu Coklat pun tidak sempurna, tetapi rugi rasanya meninggalkan dia.

Bersama Susu Coklat, saya diajak untuk menjadi diri sendiri, komplet dengan busuk-busuknya. Saya dibukakan mata lebar-lebar soal dinamika kehidupan yang kudu disikapi dengan realistis. Nggak boleh memandang ketinggian, merendahkan bahkan saklek. Namanya aja dinamika yaa bersikap dinamis-lah.

Susu Coklat juga mengajak saya untuk mau menerima risiko atas keputusan yang telah dibuat. Ketika saya curhat setengah menyesali keputusan yang telah dibuat sendiri, Susu Coklat tidak pernah sekalipun menyalahkan saya. Dia diam, mendengarkan. Kalau nggak dimintai saran, dia nggak bakal bersuara. Susu Coklat akan menjadi pendengar yang baiiikk sekali.

Matsuo Basho, seorang pujangga berkebangsaan Jepang dan termasyur sejak zaman Edo menuliskan begini,
 Every day is a journey and the journey itself is home
Hari demi hari hidup kita ibarat sebuah perjalanan dan perjalanan itu layaknya kembali rumah yang kita kenali, kita datangi, kita manage sedemikian rupa. Kita nggak bisa nolak segala sesuatu yang wajib kita terima. Di kedalaman batin kita, apa pun yang dirasakan, pahit manisnya, better dikelola sedemikian rupa sesuai kemampuan diri kita saja.

Bila ujung-ujungnya cuma jadi parasit, jangan segan untuk meluapkan, melepaskan, lalu lupakan. Bila tidak kuat menanggung sendirian, ada sosok sahabat yang bisa diajak berbagi.

Dari ngobrol-ngobrol sama sahabat, siapa tahu juga kita bisa mendapatkan masukan. Kepercayaan saya selama ini, perspektif orang lain, kadang bisa lebih clear daripada pemikiran sendiri. Apalagi kalau lagi ribet seribet-ribetnya, ya, kan?

Well, berani melepas serpih biar hidup enteng dan nggak ragu berkata I feel happy with my own life?