Selasa | 18 Juni 2024
12:46
Ibu Kost baru membalas pesan yang kukirim Senin. Sebuah pesan berisi pemberitahuan bahwa aku sudah transfer ke rekening pribadinya uang bayar kost bulan Juni. Sekalian aku mengucapkan, "Selamat Iduladha". Balasannya sudah beda hari. Kumaklumi, Ibu Kost, yang usianya seumuran adikku, bukanlah Ibu Kost biasa.
Tak cukup berpenghasilan dari jalur kerja kantoran, Ibu Kost punya usaha sampingan yang dijalankan di rumah. Kesibukannya masih ditambah dengan kewajiban sebagai istri, ibu dua anak perempuan yang masih kecil-kecil juga menantu. Kebayanglah kegiatan dia seabrek-abrek.
Pesanku dibalas dengan ucapan terima kasih. Kubalas lagi ucapan terima kasihnya, sebagai tanda aku merespons pesannya. Respons dari seorang manusia, yang tidak sekadar nge-read atau ngasih emoticon, tapi ada kalimat meskipun tidak panjang juga lebar.
Pesan balasan Ibu Kost tidak selesai dengan ucapan terima kasih. Ibu Kost menanyakan keberadaanku, apakah aku mudik atau ada di kost-an? Kujawab, aku nggak mudik (saat ini sedang moment Iduladha dan cuti bersama Iduladha). Ibu Kost menyambung pesannya kemudian dengan bertanya kapan aku ada di kost-an? Segera kujawab kalau di saat dia mengetik pesan itu, aku ada di kost-an, tepatnya ada di dalam kamar.
Jujur, saat Ibu Kost-nya nanya "aku mudik atau nggak?" bikin alarm insekyurku otomatis meraung-raung. Aku jadi ingin kejelasan sesegera mungkin. Ada rasa khawatir yang sulit dijelaskan. Ternyata Ibu Kost mau ngasih sop. Hatiku tenang. Dengan hati tenang, feeling-ku mulai "bekerja". Feeling-ku mengatakan sop-nya jangan-jangan sop daging kurban. Siapa tahu ibunya tahun ini kurban sapi atau dapat jatah daging kurban yang banyak. Jadinya dia mau berbagi dengan anak-anak kost-nya.
Pesanku dibalas dengan ucapan terima kasih. Kubalas lagi ucapan terima kasihnya, sebagai tanda aku merespons pesannya. Respons dari seorang manusia, yang tidak sekadar nge-read atau ngasih emoticon, tapi ada kalimat meskipun tidak panjang juga lebar.
Pesan balasan Ibu Kost tidak selesai dengan ucapan terima kasih. Ibu Kost menanyakan keberadaanku, apakah aku mudik atau ada di kost-an? Kujawab, aku nggak mudik (saat ini sedang moment Iduladha dan cuti bersama Iduladha). Ibu Kost menyambung pesannya kemudian dengan bertanya kapan aku ada di kost-an? Segera kujawab kalau di saat dia mengetik pesan itu, aku ada di kost-an, tepatnya ada di dalam kamar.
Jujur, saat Ibu Kost-nya nanya "aku mudik atau nggak?" bikin alarm insekyurku otomatis meraung-raung. Aku jadi ingin kejelasan sesegera mungkin. Ada rasa khawatir yang sulit dijelaskan. Ternyata Ibu Kost mau ngasih sop. Hatiku tenang. Dengan hati tenang, feeling-ku mulai "bekerja". Feeling-ku mengatakan sop-nya jangan-jangan sop daging kurban. Siapa tahu ibunya tahun ini kurban sapi atau dapat jatah daging kurban yang banyak. Jadinya dia mau berbagi dengan anak-anak kost-nya.
Masih lewat chat WA, Ibu Kost bilang kalau ntar sop-nya dibawain ke atas (area kost-an maksudnya) sama Mbak Menuk. Mbak Menuk adalah asisten rumah tangga Ibu Kost. Mbak Menuk pula yang sehari-hari bantuin bersih-bersih area kost-an termasuk partner nggrundhel-ku berkeluh kesal soal kelakuan Si Epin yang ampun-ampunan.
Aku nggak tahu kapan tepatnya Mbak Menuk antar sopnya ke area kost-an. Tahu-tahu, pas aku keluar kamar, di pantry kost-an udah ada panci nangkring di atas tungku kompor. Aku samperin trus buka tutupnya. Benar, ini sop yang dibilang Ibu Kost. Keyakinanku bulat, karena pancinya bukan panci yang biasa dipakai masak sama anak kost.
Mumpung sop masih hangat, aku bergegas balik kamar lalu ambil mangkok dan sendok pribadiku. Zuzur, sejak jadi anak kost, aku sudah lama nggak makan masakan rumahan sop daging. Menu sop kudapat dari beli sop di warteg. Selain sop warteg, aku makan sop daging di sebuah warung makan di Semarang.
Begitu tutup panci dibuka, hmmmm... aroma kaldu dan aneka rempah menguar liar seketika; menggelitik hidung membangkitkan nafsu makan. Terbayang sudah kelezatan sop daging ala rumahan. Isian sopnya daging sapi yang tebal, kacang merah, kentang, daun bawang diiris agak tebal, dan wortel. Sopnya tipikal sop daging kacang merah yang nggak kebanyakan "penduduk".
Kuciduk sop perlahan. Secukupnya lebih dulu, karena masih ada tiga orang tetangga kost yang belum ambil jatah masing-masing. Kemudian, kubawa sop di mangkok ke dalam kamar. Betapa baiknya ibu kost-ku. Tahu aja kalo anak kost-nya jarang makan sop daging terutama sop bikinan rumah.
Saking endulnya, aku sampai nambah. Aku berani nambah, karena Ibu Kost ngasih sepanci penuh. Andaikan seluruh penghuni kost-an pada doyan trus sop-nya dihabisin, masing-masing bakalan bisa nambah, kok. Mau dimakan bareng nasi atau digado, bisa banget nambah. Kan anak kost-nya cuman empat biji.
Lantaran asyik di dalam kamar, aku nggak memperhatikan apakah tetangga kost sudah ambil sop atau belum. Sebelum tidur, aku menyempatkan diri nengok si sop yang masih stand-by di atas kompor. Aku panasin sopnya biar keesokan pagi bisa jadi sarapan atau bekal berangkat kerja anak-anak kost. Pikirku seperti itu.
Kost-an sudah sepi ketika kenop kompor kumatikan. Sop sudah kembali hangat. Isinya terlihat berkurang, tapi tidak banyak. Sebelum meninggalkan sop, aku pastikan tutupnya sudah rapat.
Keesokan pagi, aku mendapati panci sop hilang. Aneh, batinku. Apakah ada yang bawa masuk kamar? Masak sih, sepanci sop segitu banyak dinikmati sendirian; nggak bagi-bagi sama temannya? Pertanyaan demi pertanyaan timbul, termasuk pikiran jelek ikut campur. Aku nggak enak hati mau nanya ke masing-masing penghuni kost-an.
Ke mana sop lengkap dengan pancinya itu? Kapan pindah tempat? Enak banget ambil sop setelah dipanasin... Aku penasaran banget pengin tahu ke mana perginya sepanci sop daging itu? Nggak mungkin, kan, pancinya jalan sendiri.
Sore, 19 Juni 2024, aku turun (kamar kost-ku ada di lantai 2) ambil makanan di Kang Ojol. Sambil menjemput makanan, aku cari tahu ke mana perginya panci sop. Aku berpikir, siapa tahu panci sopnya dimasukkan ke kulkas sama Ibu Kost barengan dia matiin lampu di pagi hari.
Iseng-lah aku ngintip daleman kulkas (kulkas-nya masih yang lama. Beberapa bulan kemudian, Ibu Kost mengganti kulkas dengan yang baru gress dari toko, karena kulkas lama berkali-kali rusak).
NGGAK ADA!
Kulkas hanya dihuni harta karunnya Si Epin, tetangga kost yang punya kebiasaan menimbun rupa-rupa makanan di dalam kulkas.
Wah, jangan-jangan diambil balik sama ibu kost-nya. Disangkanya sop-nya kebanyakan trus daripada basi percuma, dibawa ke rumah ibu kostnya. Ya, sebetulnya nggak pa-pa, sih. Lebih baik habis dimakan daripada terbuang sia-sia.
Hingga hari berganti berhari-hari, aku nggak kunjung menemukan jawaban pertanyaanku. Grup WA kost-an pun sepi, nggak ada bahasan soal sop.
Tapi asli sih, hingga tulisan ini rampung dibuat, sop-nya masih berstatus "dalam pencarian" 🤣. Statusnya belum dicabut hingga ada kejelasan. Beneran deh, aku diliputi rasa penasaran, ke mana perginya si sop, ya? Kapan ngambilnya? Terlebih, siapa yang ngambil?
0 comments:
Posting Komentar