Senin, 09 Juni 2025

Aku Akan Berusaha...



Sehari setelah Iduladha 10 Dzulhijjah 1446 H
 
7 Juni 2025

Kawasan Cempaka Putih Barat sudah kebagian hujan hari ini. Hujannya deras untuk karakter hujan di wilayah Jakarta Pusat. Aku keluar kost-an untuk beli makan sekalian belanja kebutuhan pribadi. Sengaja aku ke Jalan Cempaka Putih Raya, karena sekali "jalan", aku bisa beli makan, angkut jajanan juga nyetok aneka keperluan pribadi. 
 
Area Cempaka Putih Raya, masih masuk Jakarta Pusat, merupakan kawasan one stop living dengan adanya kompleks perumahan, gedung apartemen, restoran, toko roti, toko kue, pedagang kaki lima, minimarket, warung makan, SPBU, tempat cuci kendaraan, sekolahan, tempat les, barbershop, kampus, lapak penjual tanaman hidup, tempat olah raga, tempat gym serta fasilitas kesehatan. Beragam fasilitas hidup terintegrasi di sini. Angkutan umum juga ada yang lewat.
 
Sekitar jam 20.00 aku selesai beli makan di Warung Sambal Bakar. Order nasi-ayam geprek-sambal bawang plus oseng kangkung lengkap berada di tentengan. Rupanya urusan belum selesai. Aku pengin mampir Holland Bakery, yang berseberangan sama Warung Sambal Bakar, beli roti buat konsumsi sepanjang hari Minggu.
 
Pas nunggu jalanan bisa diseberangi, nggak sengaja aku lihat Neta boncengan pakai sepeda motor (kalau nggak salah sepeda motornya jenis matic). Neta pernah menjadi rekan kerjaku. Kami beda unit kerja, tapi ada bagian dari job desk-ku bersinggungan dengan job desk-nya Neta. Untuk memastikan yang kulihat adalah Neta, mataku mengikuti laju motor matic itu.

Dugaanku mendekati valid, karena selain ciri-ciri fisik Neta yang masih kuhafal, Neta, yang mengenakan pakaian sport itu, pakai sepeda motor berplat nomor area DIY. Makin kuatlah dugaanku sebab Neta berasal dari daerah yang jadi bagian dari DIY. Sayangnya aku nggak liat sosok yang boncengin Neta.
 
Ada hal yang lebih penting ketimbang cari tahu siapa yang boncengin Neta atau pertanyaan keduanya abis ngapain atau keduanya abis dari mana? Hal yang lebih penting untuk ditanyakan adalah
 
Siapkah aku jika suatu saat bertemu lagi dengan mantan rekan kerjaku?
 
FYI, di hari terakhir aku bekerja, kebetulan Neta nggak masuk kantor. Dari kabar yang beredar, kakeknya meninggal. Jadi, waktu aku pamit sama orang-orang di unit kerjanya Neta, aku cuma ketemu sama Pak Johan, Lauren, dan Masta.
 
Pengennya sih nggak perlu-lah. Buat apa toh? Belum ada alasan buat ketemuan. Dan aku boleh-boleh aja menolak, kan? Tapi, kalau semesta sudah berkehendak, mau mlipir menghindar masuk ke jalan tikus lorong semut pun pasti bakalan ketemu di waktu yang telah ditetapkan.
 
Tapi, aku yakin banget, Neta nggak bakalan liat aku. Kalau pun dia melihatku, kemungkinan berikutnya, dia nggak ngeh kalo orang yang dilihat adalah aku, karena aku pakai pakaian yang tertutup: celana panjang hitam (bukan jeans) dan jaket parka. Bahkan, penutup kepala jaket parkanya aku pasang sejak masih di Warung Sambal Bakar. Makin komplet aku pakai masker. Yakin mengenaliku? Hmm... 
 
Aku nggak tahu ke depannya bakalan kayak apa. Aku nggak punya vision apakah aku sama sekali putus relasi sama orang-orang kantor atau masih bakalan ketemu sama mereka kapan aja, di mana aja. Setahunan meninggalkan kantor lama, baru kali ini liat mantan rekan kerja. 
 
Aku mengira, mungkin inilah satu cara semesta melatihku merawat luka batin yang kualami sejak Mei 2024. Luka batin yang berjejak di diriku. Latihan level 1 dulu: liat dari jauh, biar pas ketemu muka, aku mampu menguasai diri dan mampu merespons situasi sebaik-baiknya diriku. Kalau bisa melalui level 1, aku naik level selanjutnya dan seterusnya.
 
Balik ke kamar kost-an, aku coba mengingat ulang peristiwa yang kualami. Aku tanya kepada diriku: apa yang kurasakan? Diriku menjawab, pertemuan itu masih jadi trigger sakit hatiku ke tempat kerjaku. Sakit hati, kecewa, marah datang kurasakan meskipun tipis. Lalu, kubilang pada diriku, "Nggak apa-apa...".
 
Aku akan berusaha pastinya. Hanya saja, kita harus memahami karakteristik dasar luka batin: tidak ada luka batin yang benar-benar sembuh. Apalagi aku sendiri yang mengalaminya. Apalagi luka batin itu terjadi di tempat aku berusaha bekerja sebaik mungkin, seprofesional mungkin (tetep aja ada yang punya niat nggak baik); ketika aku bekerja pake hati.
 
Belum lama, aku pernah curhat sama Bets, my super bestie. Aku bilang sama dia, nggak apa-apa kalau suatu saat aku balik ke xxx (nama tempat kerjaku), tapi aku nggak mau balik sebagai karyawan. Aku balik ke "sana" sebagai seorang professional expert; yang diundang atau di-hire sebagai konsultan atau tenaga ahli. Aku pengen jadi orang baik. Kejadian kemarin jelas nggak bakalan terlupa. Justru dengan kembali sebagai orang yang jauh lebih baik, bakalan memperlihatkan kualitasku yang mereka tolak. 
 
Beberapa detik sebelum aku mengetik kalimat ini, aku nemu istilah "crossing the path". Istilah "crossing the path" aku dapat ketika scrolling Instagram. Crossing the path dipakai oleh seseorang yang komentar bahwa sebaiknya kita tidak benar-benar melupakan tempat kita pernah kerja. Hubungan baik sebaiknya tetap terjalin. Siapa tahu, suatu saat kita perlu berjejaring dengan orang di kantor lama atau kita-nya yang bakal crossing the path
 
Ada benernya kok kita sebaiknya tetap hubungan baik dengan mantan rekan kerja. Bentuk hubungan baiknya di antaranya tetap saling follow di medsos atau sesekali berkabar. Segitu aja sudah cukup. Jangan "bersih-bersih" mentang-mentang udah gak satu bahtera. Kalau pernah punya hubungan kurang harmonis, kita sebagai manusia kepala 3 atau lebih, taulah bagaimana harus bersikap. Siapa tahu, suatu saat kita terkoneksi lagi, terlebih kalau kita seprofesi; jadi bagian dari satu organisasi profesi atau punya technical skill yang sama.[]
 

0 comments:

Posting Komentar