Kamis, 19 Juni 2025

Krisis Es Batu



Lazimnya berkunjung ke suatu daerah, jelajah kuliner khas pantang dilewatkan. Berada di Semarang, Juni 2025, aku ingin menikmati makanan yang masuk "comfort-food"ku. Jelajah kuliner pertama dilakukan usai mengikuti sebuah acara di Jumat malam. Kangen menikmati gudeg koyor, aku meluncur ke daerah bernama Peterongan. Ah, tiba di lokasi, ternyata gudeg koyor tutup. Ada spanduk bertulis "LIBUR" dipasang di emper lapak.

Haluan berubah ke warung bakmi godhog langganan. Dibilang langganan, karena aku telah berkali datang ke warung tersebut dan warung tersebut sejauh ini merupakan "final destination" setelah ngider ke beberapa lokasi bakmi godhog di seputaran Kota Semarang. Di Semarang, bakmi godhog gampang dicari setelah nasi goreng babad. Bakmi godhog ala Semarang punya cita rasa khas; sedikit berbeda dengan bakmi godhog di Yogyakarta. Cobalah...
 
Beruntung warung bakmi godhog masih buka. Masih ada pembeli yang ngiras (makan di tempat atau dine in 😁), meskipun tidak serame saat jam makan malam. Pun masih ada pengamen yang nyanyi lagu-lagu random. Seperti biasa, aku langsung pesan bakmi godhog-pedasnya cukupan-ekstra telur ceplok-minumnya es jeruk. Tak lupa aku ambil sate yang dihangatkan dengan tambahan kecap manis. 
 
Penjual yang khusus melayani orderan mengatakan kalau es batunya habis! Jadi kalau mau pesen es jeruk, minuman akan tersaji tanpa es batu. Duh! Kurang nikmat kalau cuma minum air jeruk. Orderanku berubah, es jeruk dicoret. Eh, tapi, kalau nggak minum seret juga. Ending-nya, tetap pesan minuman jeruk tanpa es. Kurang marem sebetulnya. Bisa jadi semesta mengirim pertanda bahwa aku akan kembali lagi menikmati bakmi godhog semarangan plus minuman jeruk yang benar-benar pakai es batu. 
 
Makanan kedua yang masuk list untuk dinikmati selama di Semarang ialah es kacang merah. Es kacang merah ini menu salah satu tenant di mal. Aku sudah membayangkan sedapnya semangkok es kacang merah. Kacang merahnya terasa empuk, manis es-nya pun pas. Pokoknya cocok di lidahku. Itulah sebabnya ketika berkesempatan kembali ke Semarang, aku ingin menikmati es kacang merah.
 
Keberuntungan rupanya belum berpihak kepadaku. Aku gagal menikmati es kacang merah. Apa sebab? Es batu-nya habis! Staf penjualan tidak bisa memastikan ketersediaan es batu di restoran untuk penjualan hari itu. Aku masih berharap, aku bisa menikmati es kacang merah sebelum balik Jakarta barang semangkok saja.
 
Sore, aku balik lagi ke restoran tersebut. Ternyata es batu-nya belum diantar juga. Fatal, sih, menurutku. Kok bisa kehabisan es dan nggak tahu bakal diantar kapan? Aku bertanya-tanya bagaimana inventory management restoran berjalan sehingga tidak terjadi kekosongan stok terlebih di akhir pekan? Apakah tidak dilakukan stock opname secara berkala? Sebagai konsumen yang berkali-kali jajan ke restoran tersebut saban ke Semarang, pengalaman kali itu cukup mengecewakan.
 
Kehabisan stok es batu lumrah terjadi di dalam bisnis makanan dan minuman. Perbedaannya, krisis es batu pada level warung kaki lima tampaknya lebih dimaklumi oleh konsumen dibanding krisis es batu di level restoran. Semacam dosa besar jika kehabisan es batu terjadi pada bisnis makanan dan minuman yang sudah bermerk, punya cabang di berbagai tempat, brand-nya sudah sangat dikenal khalayak, buka cabang di mal, dan punya tata kelola yang diyakini lebih baik ketimbang kaki lima. 

Apa yang terjadi di balik dapur restoran? Kenapa bisa terjadi kehabisan es batu dan staf tidak tahu kapan es batu akan diantar ke restoran dan tersedia untuk memenuhi pesanan konsumen? Berpegang pada data penjualan, pengelola restoran cabang mal seharusnya mampu mengantisipasi demand di akhir pekan dengan ketersediaan bahan makanan dan minuman yang ditawarkan di menu.
 
Es batu bukan menu utama, tapi kalau ada es-batu sebagai bagian dari menu restoran macam es jeruk atau es kacang merah maka stok es batu adalah item wajib jadi perhatian. Semoga krisis es batu jangan sampai terulang, di warung kaki lima maupun restoran.[]

Selasa, 10 Juni 2025

Sepanci Sop Daging



Selasa | 18 Juni 2024

12:46

Ibu Kost baru membalas pesan yang kukirim Senin. Sebuah pesan berisi pemberitahuan bahwa aku sudah transfer ke rekening pribadinya uang bayar kost bulan Juni. Sekalian aku mengucapkan, "Selamat Iduladha". Balasannya sudah beda hari. Kumaklumi, Ibu Kost, yang usianya seumuran adikku, bukanlah Ibu Kost biasa. 
 
Tak cukup berpenghasilan dari jalur kerja kantoran, Ibu Kost punya usaha sampingan yang dijalankan di rumah. Kesibukannya masih ditambah dengan kewajiban sebagai istri, ibu dua anak perempuan yang masih kecil-kecil juga menantu. Kebayanglah kegiatan dia seabrek-abrek. 

Pesanku dibalas dengan ucapan terima kasih. Kubalas lagi ucapan terima kasihnya, sebagai tanda aku merespons pesannya. Respons dari seorang manusia, yang tidak sekadar nge-read atau ngasih emoticon, tapi ada kalimat meskipun tidak panjang juga lebar.

Pesan balasan Ibu Kost tidak selesai dengan ucapan terima kasih. Ibu Kost menanyakan keberadaanku, apakah aku mudik atau ada di kost-an? Kujawab, aku nggak mudik (saat ini sedang moment Iduladha dan cuti bersama Iduladha). Ibu Kost menyambung pesannya kemudian dengan bertanya kapan aku ada di kost-an? Segera kujawab kalau di saat dia mengetik pesan itu, aku ada di kost-an, tepatnya ada di dalam kamar.

Jujur, saat Ibu Kost-nya nanya "aku mudik atau nggak?" bikin alarm insekyurku otomatis meraung-raung. Aku jadi ingin kejelasan sesegera mungkin. Ada rasa khawatir yang sulit dijelaskan. Ternyata Ibu Kost mau ngasih sop. Hatiku tenang. Dengan hati tenang, feeling-ku mulai "bekerja". Feeling-ku mengatakan sop-nya jangan-jangan sop daging kurban. Siapa tahu ibunya tahun ini kurban sapi atau dapat jatah daging kurban yang banyak. Jadinya dia mau berbagi dengan anak-anak kost-nya.
 
Masih lewat chat WA, Ibu Kost bilang kalau ntar sop-nya dibawain ke atas (area kost-an maksudnya) sama Mbak Menuk. Mbak Menuk adalah asisten rumah tangga Ibu Kost. Mbak Menuk pula yang sehari-hari bantuin bersih-bersih area kost-an termasuk partner nggrundhel-ku berkeluh kesal soal kelakuan Si Epin yang ampun-ampunan.
 
Aku nggak tahu kapan tepatnya Mbak Menuk antar sopnya ke area kost-an. Tahu-tahu, pas aku keluar kamar, di pantry kost-an udah ada panci nangkring di atas tungku kompor. Aku samperin trus buka tutupnya. Benar, ini sop yang dibilang Ibu Kost. Keyakinanku bulat, karena pancinya bukan panci yang biasa dipakai masak sama anak kost. 
 
Mumpung sop masih hangat, aku bergegas balik kamar lalu ambil mangkok dan sendok pribadiku. Zuzur, sejak jadi anak kost, aku sudah lama nggak makan masakan rumahan sop daging. Menu sop kudapat dari beli sop di warteg. Selain sop warteg, aku makan sop daging di sebuah warung makan di Semarang.
 
Begitu tutup panci dibuka, hmmmm... aroma kaldu dan aneka rempah menguar liar seketika; menggelitik hidung membangkitkan nafsu makan. Terbayang sudah kelezatan sop daging ala rumahan. Isian sopnya daging sapi yang tebal, kacang merah, kentang, daun bawang diiris agak tebal, dan wortel. Sopnya tipikal sop daging kacang merah yang nggak kebanyakan "penduduk". 
 
Kuciduk sop perlahan. Secukupnya lebih dulu, karena masih ada tiga orang tetangga kost yang belum ambil jatah masing-masing. Kemudian, kubawa sop di mangkok ke dalam kamar. Betapa baiknya ibu kost-ku. Tahu aja kalo anak kost-nya jarang makan sop daging terutama sop bikinan rumah.
 
Saking endulnya, aku sampai nambah. Aku berani nambah, karena Ibu Kost ngasih sepanci penuh. Andaikan seluruh penghuni kost-an pada doyan trus sop-nya dihabisin, masing-masing bakalan bisa nambah, kok. Mau dimakan bareng nasi atau digado, bisa banget nambah. Kan anak kost-nya cuman empat biji.  
 
Lantaran asyik di dalam kamar, aku nggak memperhatikan apakah tetangga kost sudah ambil sop atau belum. Sebelum tidur, aku menyempatkan diri nengok si sop yang masih stand-by di atas kompor. Aku panasin sopnya biar keesokan pagi bisa jadi sarapan atau bekal berangkat kerja anak-anak kost. Pikirku seperti itu. 
 
Kost-an sudah sepi ketika kenop kompor kumatikan. Sop sudah kembali hangat. Isinya terlihat berkurang, tapi tidak banyak. Sebelum meninggalkan sop, aku pastikan tutupnya sudah rapat. 
 
Keesokan pagi, aku mendapati panci sop hilang. Aneh, batinku. Apakah ada yang bawa masuk kamar? Masak sih, sepanci sop segitu banyak dinikmati sendirian; nggak bagi-bagi sama temannya? Pertanyaan demi pertanyaan timbul, termasuk pikiran jelek ikut campur. Aku nggak enak hati mau nanya ke masing-masing penghuni kost-an.  
 
Ke mana sop lengkap dengan pancinya itu? Kapan pindah tempat? Enak banget ambil sop setelah dipanasin... Aku penasaran banget pengin tahu ke mana perginya sepanci sop daging itu? Nggak mungkin, kan, pancinya jalan sendiri. 
 
Sore, 19 Juni 2024, aku turun (kamar kost-ku ada di lantai 2) ambil makanan di Kang Ojol. Sambil menjemput makanan, aku cari tahu ke mana perginya panci sop. Aku berpikir, siapa tahu panci sopnya dimasukkan ke kulkas sama Ibu Kost barengan dia matiin lampu di pagi hari. 
 
Iseng-lah aku ngintip daleman kulkas (kulkas-nya masih yang lama. Beberapa bulan kemudian, Ibu Kost mengganti kulkas dengan yang baru gress dari toko, karena kulkas lama berkali-kali rusak).
 
NGGAK ADA! 
 
Kulkas hanya dihuni harta karunnya Si Epin, tetangga kost yang punya kebiasaan menimbun rupa-rupa makanan di dalam kulkas.
 
Wah, jangan-jangan diambil balik sama ibu kost-nya. Disangkanya sop-nya kebanyakan trus daripada basi percuma, dibawa ke rumah ibu kostnya. Ya, sebetulnya nggak pa-pa, sih. Lebih baik habis dimakan daripada terbuang sia-sia. 
 
Hingga hari berganti berhari-hari, aku nggak kunjung menemukan jawaban pertanyaanku. Grup WA kost-an pun sepi, nggak ada bahasan soal sop.
 
Tapi asli sih, hingga tulisan ini rampung dibuat, sop-nya masih berstatus "dalam pencarian" 🤣. Statusnya belum dicabut hingga ada kejelasan. Beneran deh, aku diliputi rasa penasaran, ke mana perginya si sop, ya? Kapan ngambilnya? Terlebih, siapa yang ngambil? 
 

Senin, 09 Juni 2025

Aku Akan Berusaha...



Sehari setelah Iduladha 10 Dzulhijjah 1446 H
 
7 Juni 2025

Kawasan Cempaka Putih Barat sudah kebagian hujan hari ini. Hujannya deras untuk karakter hujan di wilayah Jakarta Pusat. Aku keluar kost-an untuk beli makan sekalian belanja kebutuhan pribadi. Sengaja aku ke Jalan Cempaka Putih Raya, karena sekali "jalan", aku bisa beli makan, angkut jajanan juga nyetok aneka keperluan pribadi. 
 
Area Cempaka Putih Raya, masih masuk Jakarta Pusat, merupakan kawasan one stop living dengan adanya kompleks perumahan, gedung apartemen, restoran, toko roti, toko kue, pedagang kaki lima, minimarket, warung makan, SPBU, tempat cuci kendaraan, sekolahan, tempat les, barbershop, kampus, lapak penjual tanaman hidup, tempat olah raga, tempat gym serta fasilitas kesehatan. Beragam fasilitas hidup terintegrasi di sini. Angkutan umum juga ada yang lewat.
 
Sekitar jam 20.00 aku selesai beli makan di Warung Sambal Bakar. Order nasi-ayam geprek-sambal bawang plus oseng kangkung lengkap berada di tentengan. Rupanya urusan belum selesai. Aku pengin mampir Holland Bakery, yang berseberangan sama Warung Sambal Bakar, beli roti buat konsumsi sepanjang hari Minggu.
 
Pas nunggu jalanan bisa diseberangi, nggak sengaja aku lihat Neta boncengan pakai sepeda motor (kalau nggak salah sepeda motornya jenis matic). Neta pernah menjadi rekan kerjaku. Kami beda unit kerja, tapi ada bagian dari job desk-ku bersinggungan dengan job desk-nya Neta. Untuk memastikan yang kulihat adalah Neta, mataku mengikuti laju motor matic itu.

Dugaanku mendekati valid, karena selain ciri-ciri fisik Neta yang masih kuhafal, Neta, yang mengenakan pakaian sport itu, pakai sepeda motor berplat nomor area DIY. Makin kuatlah dugaanku sebab Neta berasal dari daerah yang jadi bagian dari DIY. Sayangnya aku nggak liat sosok yang boncengin Neta.
 
Ada hal yang lebih penting ketimbang cari tahu siapa yang boncengin Neta atau pertanyaan keduanya abis ngapain atau keduanya abis dari mana? Hal yang lebih penting untuk ditanyakan adalah
 
Siapkah aku jika suatu saat bertemu lagi dengan mantan rekan kerjaku?
 
FYI, di hari terakhir aku bekerja, kebetulan Neta nggak masuk kantor. Dari kabar yang beredar, kakeknya meninggal. Jadi, waktu aku pamit sama orang-orang di unit kerjanya Neta, aku cuma ketemu sama Pak Johan, Lauren, dan Masta.
 
Pengennya sih nggak perlu-lah. Buat apa toh? Belum ada alasan buat ketemuan. Dan aku boleh-boleh aja menolak, kan? Tapi, kalau semesta sudah berkehendak, mau mlipir menghindar masuk ke jalan tikus lorong semut pun pasti bakalan ketemu di waktu yang telah ditetapkan.
 
Tapi, aku yakin banget, Neta nggak bakalan liat aku. Kalau pun dia melihatku, kemungkinan berikutnya, dia nggak ngeh kalo orang yang dilihat adalah aku, karena aku pakai pakaian yang tertutup: celana panjang hitam (bukan jeans) dan jaket parka. Bahkan, penutup kepala jaket parkanya aku pasang sejak masih di Warung Sambal Bakar. Makin komplet aku pakai masker. Yakin mengenaliku? Hmm... 
 
Aku nggak tahu ke depannya bakalan kayak apa. Aku nggak punya vision apakah aku sama sekali putus relasi sama orang-orang kantor atau masih bakalan ketemu sama mereka kapan aja, di mana aja. Setahunan meninggalkan kantor lama, baru kali ini liat mantan rekan kerja. 
 
Aku mengira, mungkin inilah satu cara semesta melatihku merawat luka batin yang kualami sejak Mei 2024. Luka batin yang berjejak di diriku. Latihan level 1 dulu: liat dari jauh, biar pas ketemu muka, aku mampu menguasai diri dan mampu merespons situasi sebaik-baiknya diriku. Kalau bisa melalui level 1, aku naik level selanjutnya dan seterusnya.
 
Balik ke kamar kost-an, aku coba mengingat ulang peristiwa yang kualami. Aku tanya kepada diriku: apa yang kurasakan? Diriku menjawab, pertemuan itu masih jadi trigger sakit hatiku ke tempat kerjaku. Sakit hati, kecewa, marah datang kurasakan meskipun tipis. Lalu, kubilang pada diriku, "Nggak apa-apa...".
 
Aku akan berusaha pastinya. Hanya saja, kita harus memahami karakteristik dasar luka batin: tidak ada luka batin yang benar-benar sembuh. Apalagi aku sendiri yang mengalaminya. Apalagi luka batin itu terjadi di tempat aku berusaha bekerja sebaik mungkin, seprofesional mungkin (tetep aja ada yang punya niat nggak baik); ketika aku bekerja pake hati.
 
Belum lama, aku pernah curhat sama Bets, my super bestie. Aku bilang sama dia, nggak apa-apa kalau suatu saat aku balik ke xxx (nama tempat kerjaku), tapi aku nggak mau balik sebagai karyawan. Aku balik ke "sana" sebagai seorang professional expert; yang diundang atau di-hire sebagai konsultan atau tenaga ahli. Aku pengen jadi orang baik. Kejadian kemarin jelas nggak bakalan terlupa. Justru dengan kembali sebagai orang yang jauh lebih baik, bakalan memperlihatkan kualitasku yang mereka tolak. 
 
Beberapa detik sebelum aku mengetik kalimat ini, aku nemu istilah "crossing the path". Istilah "crossing the path" aku dapat ketika scrolling Instagram. Crossing the path dipakai oleh seseorang yang komentar bahwa sebaiknya kita tidak benar-benar melupakan tempat kita pernah kerja. Hubungan baik sebaiknya tetap terjalin. Siapa tahu, suatu saat kita perlu berjejaring dengan orang di kantor lama atau kita-nya yang bakal crossing the path
 
Ada benernya kok kita sebaiknya tetap hubungan baik dengan mantan rekan kerja. Bentuk hubungan baiknya di antaranya tetap saling follow di medsos atau sesekali berkabar. Segitu aja sudah cukup. Jangan "bersih-bersih" mentang-mentang udah gak satu bahtera. Kalau pernah punya hubungan kurang harmonis, kita sebagai manusia kepala 3 atau lebih, taulah bagaimana harus bersikap. Siapa tahu, suatu saat kita terkoneksi lagi, terlebih kalau kita seprofesi; jadi bagian dari satu organisasi profesi atau punya technical skill yang sama.[]
 

Jumat, 30 Mei 2025

Informasi Penting! Cara Perpanjang SIM C di Layanan SIM Keliling Jakarta Pusat Tahun 2025

Sebelum membaca pengalaman saya, mohon memperhatikan penafian (disclaimer) lebih dulu, ya. Terima kasih


Jakarta tidak hanya memberi pengalaman kerja bagi saya. Jakarta pun menawarkan pengalaman mengurus perpanjangan SIM C. Sebelum merantau ke Jakarta, saya mengurus perpanjangan SIM C di daerah asal saya. Sekadar informasi, SIM C saya sebetulnya habis masa berlakunya pada 16 Juni 2025. Lantaran nggak mau mepet-mepet bikinnya ditambah ingin menghadiahi diri saya yang ulang tahun 26 Mei, tergeraklah hati ingin mengurus perpanjangan SIM pas tanggal 26 Mei. Kebetulan, SIM Keliling buka layanan pada tanggal 26 Mei. 

Sebelumnya, saya dihadapkan pada dua pilihan: mengurus SIM secara langsung di SIM Keliling atau mengajukan perpanjangan SIM secara online lewat aplikasi Digital Korlantas POLRI. Setelah menimbang-nimbang, saya memilih untuk mengurus perpanjangan SIM di SIM Keliling.

Setahu saya, tidak ada sistem kuota dalam pengajuan SIM di layanan SIM Keliling. Saya cukup menyesuaikan jadwal layanan SIM Keliling dengan aktivitas saya. Sehari sebelumnya, saya menyiapkan dokumen yang diperlukan, yakni
1. KTP asli 
2. Fototkopi KTP > saya menyiapkan 5 lembar fotokopi KTP.
3. SIM C asli
4. Fotokopi SIM C > saya menyiapkan 5 lembar fotokopi SIM C
 
Tambahan:
1. Alat tulis pulpen
2. Papan tulis jalan untuk alas menulis
 
Saya menyiapkan lembar fotokopi KTP dan SIM C dari rumah untuk menghindari tidak tersedianya layanan fotokopi di sekitar lokasi layanan, menghindari antrean yang bikin saya harus menambah waktu untuk mengurus SIM bahkan antisipasi perubahan cuaca (dan benar, cuaca Jakarta di hari saya mendatangi SIM Keliling nggak bersahabat~hujan turun dalam perjalanan menuju lokasi SIM Keliling).
 
Bagi yang benar-benar pertama kali, mobil SIM Keliling ada di area halaman Kantor Pos Pusat di Lapangan Banteng (lihat peta). Buat yang belum ngeh, Kantor Pos Lapangan Banteng ada di mana, Kantor Pos Lapangan Banteng ada di seberang Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Nggak tahu Lapangan Banteng? Lapangan Banteng dekat sekolah Santa Ursula dan Gereja Katedral Jakarta.

Persisnya, mobil SIM Keliling-nya ada di belakang Indomaret. Jadi, kita tetap masuk ke area Kantor Pos Lapangan Banteng. Setelah melewati portal parkir, di sisi kiri, ada Indomaret. Nah, mobil SIM-nya ada di belakang bangunan Indomaret. Bagi yang membawa mobil, parkir di halaman kantor pos sedangkan jika naik motor, area parkir ada di sekitar mobil SIM (ada jalan menurun untuk motor).

Peta Lokasi SIM Keliling di Lapangan Banteng

 
Alur perpanjang SIM C di layanan SIM Keliling Lapangan Banteng sebagai berikut.


Saya jelaskan per tahapnya, ya. 
1. Tahap Pertama
Pemohon diarahkan untuk tes psikologi lebih dulu. Sesampai di  lokasi SIM Keliling, datengin dulu tenda Tes Psikologi. Petugas akan minta pemohon menyiapkan 3 lembar fotokopi KTP, tapi fotokopi KTP baru akan diminta di loket berikutnya. Psikotest menggunakan aplikasi. Tinggal arahkan smartphone ke QR code.

Agar bisa mengerjakan tes psikologi dengan lancar, siapkan smartphone. Nggak cuma menyiapkan smartphone, siapkan juga baterai dan kuota internet yang cukup. Kalau baterai smartphone gampang ngedrop, ada baiknya bawa powerbank.

Bentuk tes-nya seperti soal psikotest pada umumnya, tapi nggak sekompleks dan sebanyak psikotest untuk melamar kerja atau asesmen untuk kepentingan pendidikan. Bobot soal masuk kategori mudah.
 
Pemohon SIM bisa mengerjakan psikotest di tempat duduk yang telah tersedia. Ada tenda yang menaungi sehingga pemohon tidak kepanasan atau kehujanan. Kalau pun kehujanan seperti saya waktu mengurus SIM, basah pun gak sampai bikin kuyup. Saran aja, kalau mengurus SIM pas musim hujan, jangan lupa bawa payung. Kita bakalan butuh payung untuk jalan dari tenda ke tenda dan tenda menuju mobil SIM.
 
Selesai mengerjakan tes psikologi, hasil tes muncul dalam bentuk QR code. Kalau pemohon dinyatakan lulus tes, perlihatkan hasil tes ke petugas dan petugas akan memotret hasil tes atau tampilan di layar smartphone pemohon. Pemohon boleh mengunduh hasil tes dan menyimpannya di HP. Kalau nggak mau mengunduh dan menyimpan hasil tes pun nggak masalah.
 
Sebelum ke tahap selanjutnya, pemohon membayar biaya administrasi sebesar Rp60.000,00. Pengalaman saya, bayarnya tunai. Saya nggak terlalu memperhatikan sekitar apakah bisa pakai QRIS atau sistem pembayaran non tunai. Daripada mengandalkan QRIS atau transfer rekening bank, saya menganjurkan pemohon untuk bawa uang tunai saja. 

Petugas akan mengarahkan ke tahap selanjutnya yakni 1) mengisi data diri dan 2) pemeriksaan kesehatan. Tempatnya di mana? Tempatnya berada di tenda yang berada di seberang tenda tes psikologi.

2. Tahap Kedua
Ada dua meja di dalam tenda. Meja pertama adalah meja penyerahan berkas. Meja kedua adalah meja untuk melakukan tes kesehatan. Petugasnya orang yang berbeda. Petugas akan menyerahkan form untuk diisi sendiri oleh pemohon. Kalau pemohon bingung, tersedia contoh pengisian yang ditempel di meja.
 
Di meja pertama, pemohon mengisi data diri seperti NIK, nama lengkap, alamat (saya menuliskan alamat sesuai alamat pada KTP, bukan alamat kos di Jakarta), golongan darah. Jangan lupa bubuhkan tanda tangan dan nama terang di akhir pengisian formulir. Pastikan data diri sudah benar semua.

Data diri sudah terisi semua? Sebelum mengembali form data diri, siapkan SIM asli dan fotokopi KTP sebanyak 3 lembar. SIM yang lama akan ditarik.
 
Kemudian, pemohon geser ke meja tes kesehatan. Petugas akan menanyakan data diri seperti nama, tinggi badan, berat badan. Kalau lupa Tinggi dan Berat Badan ya kira-kira aja berapa angka yang mendekati. Setelah itu, petugas melakukan tes buta warna. Pemohon membayar biaya tes kesehatan sebesar Rp35.000,00. Lagi-lagi, saya bayarnya tunai.
 
Berikutnya, petugas memberikan sobekan kertas berisi nomor urut. Pemohon dipanggil menggunakan nomor urut, bukan nama. Petugas yang manggil ada di dalam mobil SIM. 

3. Tahap Ketiga
Kalau sudah menyelesaikan tahap kedua, jangan pergi jauh-jauh dari lokasi SIM Keliling.
 
Ketika nomor pemohon disebut, pemohon menuju mobil SIM. Di dalam mobil SIM, petugas akan konfirmasi data diri lebih dulu, berikut golongan SIM yang diminta. Kalau nggak ada koreksi atau semacamnya, petugas mempersilakan pemohon foto diri.
 
Oh iya, di dalam mobil SIM ada cermin lho. Pemohon bisa mematut diri atau sekadar sisir-sisir supaya terlihat rapi di foto.
 
Cerita sedikit, kan pas ngurus SIM, saya kehujanan. Kemeja, mulai dari kerah sampai dada bagian atas, basah. Bagian badan aman, karena saya pakai jaket waterproof dan windbreaker. Saya baru menyadari ketika bersiap diri untuk ambil foto. Untunglah, ketika SIM sudah jadi, bagian yang basah nggak kentara.
 

Pemohon nggak perlu keluar dari mobil SIM untuk menunggu SIM jadi. Tunggu aja di dalam mobil. Pengalaman saya, ketika jatah saya belum kelar, petugas tidak memanggil antrean berikutnya. Jadi, duduk manis di tempat duduk yang tersedia di dalam bis aja. 
 
SIM C saya sudah JADI!

Tapi, saya nggak mau buru-buru keluar dari mobil SIM walau sebetulnya badan udah dingin dan mulai merasa lapar. 
 
Ada apa? 
 
Cek data yang tercetak di dalam SIM lebih dulu. Cek satu per satu. Mau cek di dalam mobil dibolehkan, mau di luar mobil nggak pa-pa. Yang penting, masih di sekitar mobil SIM. Saya mikirnya simple sih: daripada buru-buru pulang taunya ada data yang salah tik. Kalau ada bagian data yang salah tik, saya harus meluangkan waktu untuk revisi data. Mindhon gaweni, bahasa Jawanya.
 
Jika data pada SIM sudah benar semua, pemohon dapat meninggalkan lokasi layanan SIM Keliling. 

Tetap tertib berkendara dan utamakan keselamatan.[]