Selasa, 25 Mei 2021

Mei: Yang Takterceritakan

Catatan Pengantar:
Saya menemukan tulisan yang dibuat jelang hari ulang tahun saya. Membaca ulang tulisan yang dibuat enam tahun silam itu membentuk residu kesan: waktu berlalu begitu cepat, kenangan akan saat-saat masih berumur awal kepala tiga, dan siapa-siapa saja yang masih bersama saya. Saya pun diingatkan akan cerita yang sempat terlupakan lantaran begitu banyak peristiwa merebut ruang ingatan dan perhatian saya akhir-akhir ini. Beruntungnya tulisan ini ditemukan. Maka, tak ingin tersimpan makin lama, ada baiknya segera diunggah. Yogyakarta, Mei 2021

***
 

Selalu ada kisah menarik tentang kelahiran makhluk hidup. Selalu dan selalu terceritakan lagi, berulang, dan kembali dalam pertemuan yang melibatkan keluarga atau orang-orang yang diharapkan mengetahui kisah masa lalu itu. Salah satu dari sekian banyak cerita kelahiran yang akan diceritakan ulang berkaitan dengan kelahiran saya. Berkaitan lho ya, bukan cerita detik demi detik hadirnya saya ke dunia ini. 

Bulan Mei, saya akan genap berusia tiga puluh tahun. Bila orang lain memilih untuk keep silent, menyembunyikan umurnya, atau memilih berbohong akan fakta usia, saya lebih memilih untuk ngomong apa adanya saja. Toh, memang benar, usianya tiga puluh, kok. Lagipula, dengan memilih berkata jujur, bisa diartikan sebagai bentuk syukur atas karunia Tuhan terhadap saya. Jika Tuhan berkehendak lain, belum tentu saya bisa menikmati ulang tahun ketigapuluh. Lho?! 


 

Iya, jika nasib saya tertukar, bisa jadi bukan saya yang hidup sampai detik ini, menikmati kesempatan tumbuh, menjalani masa kecil di kampung yang tak jauh dari ikon Kota Yogyakarta, mendapat jatah pendidikan hingga tingkat universitas, bahkan berkesempatan menikmati rupa-rupa kehidupan termasuk ngeblog.

Tidak banyak yang tahu bila kelahiran saya, suka cita orang tua saya, dan kebahagiaan keluarga besar saya menyambut penerus keluarga sempat diwarnai peristiwa yang kurang mengenakkan. Bukan menimpa orang tua atau keluarga besar saya, sih, melainkan orang lain. Sayangnya, orang lain itu berelasi dengan orang tua saya. Mereka saling mengenal.

Tiga puluh tahun silam, pada waktu yang nyaris berbarengan, dua orang ibu hendak melahirkan di sebuah rumah sakit. Secara teritori, rumah sakit itu masuk Kabupaten Sleman. Bayi yang dikandung ibu saya lahir selamat tepat pukul satu dini hari dan berjenis kelamin perempuan. Dia kemudian diberi nama Ratri sesuai waktu kelahirannya. Sementara... Bayi ibu yang satunya meninggal. 

Saya tidak tahu kejadian persisnya waktu itu seperti apa: bagaimana kejadiannya, kenapa bisa terjadi. Meskipun mungkin ibu saya bisa menjelaskan tetapi saya belum ada ketertarikan untuk mengulik lebih dalam. Mungkin, yang saya rasakan adalah untuk apa mengungkit luka batin orang lain dan hal itu -bagi saya pribadi- tidak baik untuk diingat. Oleh sebab itu, saya hanya menerima yang disampaikan oleh ibu saya meski hanya bagian kecil cerita saja. Sudah cukup.

Yang namanya kehilangan anak, membuat kenangan itu susah pupus bahkan hingga bertahun berlalu. Manusia dibekali ingatan yang panjang bila menyangkut peristiwa penting dalam hidupnya terlebih peristiwa buruk. Kenangan akan peristiwa itu membekas sampai kapanpun. Dan benar, teman ibu saya ternyata masih mengingat saat dia kehilangan anaknya walaupun waktu telah berjalan melebihi angka sepuluh tahun, dua puluh tahun. 

Saking terkenang, teman ibu saya berkisah, kalau melihat saya, seperti melihat anaknya yang hanya sekejap melihat dunia. Anaknya yang tidak sempat tumbuh besar. Tiap kali melihat saya jalan kaki berangkat sekolah, beliau akan bercerita kepada ibu saya bahwa beliau melihat saya jalan kaki menuju sekolah.

Begitu pun ketika bertatap muka dengan saya. Beliau selalu mengatakan pada teman-temannya, yang saat pertemuan itu berada di ruang yang sama, bahwa jika anaknya hidup, pasti sudah segede saya saat itu. Mendengarnya, perasaan saya dibuat nggak karuan. Merasa nggak enak, karena penampakan saya bikin orang lain mengingat pengalaman kurang mengenakkan. Jadinya saya cuma tersenyum simpul dan speechless.

Sempat saya berpikir, ya Tuhan, apakah saya merampas hak hidup orang lain? Untuk apa bayi itu lahir jika kemudian dia kembali lagi kepada penciptanya? Penasaran, kira-kira siapa yang lahir lebih dulu? Saya atau dia? Apakah saat itu ada undian nyawa? Suit? Apakah sebelum dilahirkan saya "batu-kertas-gunting" dulu?

Ada yang bisa bantu jawab?

Seandainya saja bayi itu hidup, pasti saat ini kami sepantaran dan di tanggal yang sama kami akan merayakan ulang tahun kami yang ketigapuluh. Saya akan berbahagia meski nasib melukiskan perbedaan. Mungkin, saat ini, bayi itu telah bekerja, menikah lalu punya anak. Atau barangkali dia masih lajang tapi telah keliling dunia?

Tuhan memilih saya pasti ada alasannya. Satu, dua atau banyak alasan kenapa saya yang dipilih untuk bernapas sampai detik ini, esok, lusa, dan seterusnya. Bukan dia melainkan saya. Tuhan pilih saya. Tuhan ingin saya melakukan sesuatu. Misi yang Dia titipkan untuk dijalankan. 

Mendekati hari lahirku, 26 Mei, saya diingatkan agar senantiasa mengucap syukur dan mendekatkan diri kepada Tuhan yang telah memberiku kesempatan hidup.

Happy birthday to me...

Happy birthday to me...

Happy birthday... Happy birthday... Happy birthday to me...

Terima kasih Tuhan. Mohon penyertaanMu di setiap langkahku, langkah besar maupun kecil, agar 'ku takberjalan sendiri dan kehilangan arah. []


0 comments:

Posting Komentar