Senin, 24 Mei 2021

Perempuan dan Paspornya

“Buat apa bikin paspor?

Paspornya saja belum jadi, baru rencana, tapi sudah pada bertanya untuk apa bikin paspor.

“Mau ke mana?

Duh, memangnya bikin paspor harus pergi ke mana gitu dalam waktu dekat? Nggak, kan?

Abai dengan segala rupa pertanyaan, saya pun kukuh hati bikin paspor. Bermodal Rp400.000,00, hal pertama yang saya lakukan adalah berburu antrean paspor baru menggunakan aplikasi imigrasi yang sebelumnya diunduh ke handphone.

Sembari menunggu keluarnya antrean paspor, langkah berikutnya adalah mengumpulkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan (Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk serta fotokopinya plus materai 6000).

Saat saya mengajukan permohonan bikin paspor baru, dunia persilatan masih aman sentosa. Bepergian ke luar negeri untuk berbagai urusan gampang-gampang aja asal nggak kena “red notice”. Kita semua masih bebas bertemu orang tanpa diwajibkan jaga jarak, pakai masker dengan spesifikasi tertentu maupun faceshield sebagai pelindung tambahan badan.

Ketika berada di tempat umum, belum dijumpai stiker “tanda silang” untuk menandai tempat yang tidak boleh diduduki atau gambar tapak kaki penanda kita harus berdiri berjarak dengan orang lain. Pun, kita masih bebas lompat sana lompat sini tanpa ada syarat tes rapid, PCR atau Swab Antigen.

Setelah paspor warna hijau dengan gambar lambang negara tersebut jadi, saya tak jua ke mana-mana. Sampai sekarang, paspor yang memiliki masa berlaku lima tahun itu tersimpan rapi di dalam wadah penyimpan dokumen di rumah. Stempel yang ada di dalam paspor baru stempel imigrasi.

“Rugi, dong,  buang duit untuk paspor hijau 48 halaman?“

Bagi saya, tidak ada kerugian sedikitpun atas keputusan bikin paspor. Bodo amat juga kalau ada yang mengatai saya. Penggunaan paspor hanyalah soal waktu. Saya percaya, usaha manusia akan bertemu dengan takdir Tuhan sehingga jadilah chemistry yang apik. Dengan menggenggam paspor WNI, sama halnya saya selangkah lebih maju menjemput cita-cita.

Paspor inilah yang kelak akan membawa saya menjadi seorang mahasiswi dan mengenal dunia lebih luas dibanding ukuran kamar saya bahkan luasnya Kota Yogyakarta yang hanya 46 meter persegi. Kalau Malcolm X berujar, “Education is the passport to the future” maka langkah pertama meraih “education” itu adalah kepemilikan paspor warga negara lebih dulu.

Gimana mau sampai Ostrali, Kanada, Inggris, Amerika, Korea Selatan kalau nggak punya paspor. Lha wong mau ke Singapura dan Malaysia yang tetangga mepet halaman rumah saja tetap butuh paspor, ya nggak?

Kekuatan Paspor

Pernah saya membaca buku berjudul 30 Paspor di Kelas Sang Profesor #1. Buku yang ditulis oleh J.S. Khairen tersebut menceritakan cara mengajar ala Profesor Rhenald Kasali, Ph.D yang unik. Kita semua sudah tahulah siapa Profesor Rhenald Kasali, Ph.D atau Rhenald Kasali.

Sebagai dosen mata kuliah Pemasaran Internasional, beliau menugaskan mahasiswanya pergi ke luar negeri sendirian. Tujuannya demi membentuk karakter para mahasiswanya supaya mampu mendrive dirinya sendiri, bukannya menjadi passengers yang pasif, yang hanya mengikuti arahan orang lain.

Praktiknya, Profesor Rhenald meminta tiga puluh orang mahasiswanya membuat paspor dan menyusun rencana kegiatan di suatu negara. Satu negara HANYA boleh dikunjungi oleh satu orang mahasiswa. Kalaupun terjadi satu negara menjadi tujuan dua orang mahasiswa, tetap saja keduanya tidak boleh berada di daerah yang sama.

Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Timor Leste tidak masuk ke dalam daftar negara yang bisa dikunjungi, karena ada kemiripan bahasa. “Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau,” demikian pesannya.

Jadilah anak-anak muda yang sehari-hari berkutat dengan kegiatan kampus, terbang ke berbagai negara. Laos, Jerman, Korea Selatan, Islandia, Jepang, Taiwan, Birma menjadi kampus kehidupan tempat mereka belajar banyak hal, lebih dari sekadar memenuhi tugas kuliah maupun jalan-jalan. Mereka akan mengalami hal yang bahkan tak terpikirkan sebelumnya.

Paspor, yang kita kenal selama ini sebagai dokumen pass to the port (melintasi batas wilayah), nyatanya memiliki kekuatan lebih dari sekadar dokumen resmi negara. Paspor bisa jadi sarana meraih impian: sekolah ke luar negeri! Paspor bisa berfungsi untuk mendatangkan uang. Pun, paspor juga punya peran menggembleng karakter kita.

Karena Perempuan Punya Inner Power

Indonesia pernah kebobolan agen rahasia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Kala itu, seorang perempuan berhasil menembus istana. Mengaku ingin belajar kebudayaan Indonesia, Pat Price, demikian nama utusan CIA itu berkeliaran dengan bebas di sekitar sang presiden dan anak-anaknya.

Terlepas dari kemampuan personal dan kelihaian dalam menyamar, kita diajak melihat sekaligus menyadari bahwa di dalam diri seorang perempuan tersimpan inner power. Perempuan memiliki potensi untuk melakukan tugas yang setara dengan laki-laki: kompleks, menuntut kehati-hatian, dan membutuhkan strategi.

Deret ingatan akan inner power perempuan bertambah manakala 20 Januari 2021 Amerika Serikat resmi mengangkat Kamala Harris sebagai wakil presiden. Di dalam sejarah Amerika, perempuan yang mewarisi darah India dari sang ibu dan Jamaika dari sang ayah, tercatat sebagai wakil presiden perempuan keturunan Asia-Amerika dan sebagai wakil presiden kulit hitam pertama!

Seorang Kamala Harris tentunya memiliki inner power sehingga profil sebagai perempuan cerdas melekat kuat padanya. Setelan ungu yang dikenakan saat inagurasi, yang membawa makna seorang yang tidak berpihak, mempersatukan, dan memiliki rasa solidaritas, memperkuat citra perempuan yang mampu masuk ke ranah universal.

Saya memperkirakan, selain kemampuan teknis, Mbak Pat Price memiliki kemampuan public speaking yang mumpuni sehingga aksinya berjalan mulus. Identitasnya justru terkuak lantaran informasi yang diberikan Presiden Pakistan Ayub Khan.

Kamala Harris memiliki inner power. Ia seorang pemberani dan memiliki kemampuan berargumen secara cerdas dan tajam. Yang juga tidak kalah penting adalah Kamala dapat menerima latar belakangnya sebagai seorang kulit berwarna dan tetap mengaku diri sebagai orang Amerika.

Sebagai seorang politikus perempuan kulit hitam, ia memiliki ambisi untuk meraih posisi tertinggi di dunia politik Amerika yang masih didominasi laki-laki dan kulit putih. Hal itu didukung oleh asal-usulnya sehingga memampukannya hidup dan berelasi dengan orang-orang berbagai ras di Amerika.

Lalu, siapa lagi perempuan yang memiliki inner power?

Jawabannya adalah: Kita!

Kita semua memiliki inner power di dalam diri masing-masing. Kita memiliki kecerdasan di berbagai bidang, keterampilan, kemampuan bertahan saat menghadapi masalah, dan inner power lainnya di dalam raga perempuan. Kita pun memiliki impian yang bisa digapai. Impian dan harapan sebagai perempuan ini adalah inner power tersendiri.

Sebelum menutup tulisan ini, saya mau membagi nukilan lirik yang diambil dari lagu soundtrack film The Sound of Music yang berjudul Climb Every Mountain.

Climb every mountain

Ford every stream

Follow every rainbow

'Till you find your dream

Climb Every Mountain menjadi momen penting saat pelaku sentral cerita yakni Kapten Von Trapp sekeluarga mengungsi dari kejaran tentara Nazi. Dan selama saya melihat adegan keluarga tersebut naik ke pegunungan disertai lagu tersebut, saya merasakan adanya harapan, kekuatan, semangat supaya terwujud asa dan cita.

Pengen seperti Kamala Harris atau Pat Price yang ahli di bidangnya? Kembali saya mengutip kalimat yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali, Ph.D di dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor #1, “orang-orang besar itu adalah the climbers, bukan the campers, apalagi the quitters”. Bikin paspor, genggam erat paspormu sembari daraskan doa, hidupi inner power di dalam diri.

Mari wujudkan!


0 comments:

Posting Komentar