Kakak akhirnya berangkat ke sekolah diantar Bunda, setelah sekian lama terkurung di dalam rumah. Memakai seragam putih merah, dasi upacara, sepatu hitam, kaus kaki putih berlogo sekolah, ransel serta tak lupa masker, Kakak menyusuri setiap sudut tempatnya belajar. Lapangan bermain ia singgahi. Ruang kelas dimasuki. Kantin Bu Sri didatangi. Kakak senang bisa kembali ke sekolah. Namun, Kakak sendiri. Sekolah pun lengang.
Demikianlah
sepenggal adegan film pendek berjudul “Kangen Sekolah” besutan sutradara Yopi
Kurniawan. Berdurasi 12:17 menit, “Kangen Sekolah” yang pembuatannya didukung
oleh Dinas Kebudayaan DIY, menjadi gambaran akan kerinduan seorang pelajar
sekolah dasar pada sekolahnya, pada aktivitas yang biasa dilakukan di sekolah.
Rindu Kakak bertumpuk saking lamanya belajar dari rumah.
Perubahan Model Pembelajaran
Nyaris
setahun terakhir ini pandemi Covid-19 memaksa lembaga pendidikan di Indonesia
menjalankan kegiatan belajar-mengajar dari rumah. Jika 13 Maret mendatang masih
sekolah dari rumah maka pembelajaran jarak jauh akan berulangtahun yang
pertama.
Belajar
dari rumah bukan konsep belajar yang ideal bagi kelompok anak yang terbiasa
dengan kehidupan sosial. Mereka telah terbiasa berangkat ke sekolah, belajar
tatap muka dalam satu rombongan belajar, mengikuti ekstrakurikuler, pinjam buku
di perpustakaan sekolah, bermain di lapangan sekolah maupun jajan di kantin ramai-ramai.
Ada figur guru yang ditemui secara nyata dan ada anak sebaya yang disebut
teman.
Secara
dominan, pandemi mengharuskan para murid tinggal di ruang privat mereka: kamar,
rumah, gawai, maupun jaringan Internet masing-masing. Perjumpaan langsung dibatasi
sedangkan tatap muka virtual meningkat. Pandemi
Covid-19 tidak hanya mengubah model pembelajaran, tapi juga membatasi para
murid dan guru dalam bersosialisasi. Padahal, bertatap muka langsung
sesungguhnya adalah bagian dari pendidikan juga.
Ketika
terjadi pandemi dan berujung pada ditutupnya sekolah, anak-anak tidak siap.
Perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak menimbulkan kesulitan untuk
beradaptasi. Tak ayal, anak-anak mulai dihinggapi rasa bosan, jenuh karena
berbagai aktivitas yang melulu berlangsung di rumah. Dampaknya bisa dilihat
pada kualitas belajar dan pencapaian anak.
Hantu Kesehatan Mental
Belum ada kepastian bahwa aktivitas di sekolah
akan kembali berjalan normal hingga akhir tahun pelajaran 2020/2021. Bahkan,
bisa jadi justru tahun pelajaran berikutnya masih secara daring. Risiko
menghantui: Covid-19 dan mutasinya menghadang di luar rumah, stress dan depresi
menghantui di dalam rumah.
Adegan
antara tokoh Bunda dan Kakak di dalam film pendek “Kangen Sekolah”
memperlihatkan bahwa anak mengalami tekanan akibat pembelajaran jarak jauh.
Tokoh Bunda membombardir Kakak dengan ocehan, perintah, dan informasi
pembelajaran jarak jauh yang dikirim lewat group
chat sedangkan Kakak merespon dengan ekspresi uring-uringan layaknya
seorang anak yang tertekan dengan situasi yang monoton dan membosankan.
Kompas terbitan 31 Desember 2020 menampilkan
penelitian kualitatif yang mencatat penurunan persentase frekuensi emosi
positif dan peningkatan frekuensi emosi negatif di kalangan remaja. Sebelum
pandemi, 80% responden merasa bahagia, 71% penuh harapan, dan 66% bergairah dan
bersemangat.
Setelah
pandemi, terjadi perubahan: 40% responden yang masih merasa bahagia, 45% penuh
harapan, dan, mirisnya, hanya 24% yang masih memiliki gairah/semangat. Kesehatan
mental, khususnya para murid, mulai di ambang bahaya! Sejalan dengan data
tersebut, kasus demi kasus di dalam rumah tangga turut bermunculan. Orang tua
yang frustrasi mendampingi anak-anak mereka mulai melakukan kekerasan.
Sebagai
contoh, pada 26 Agustus 2020, seperti direkam oleh Kompas (31/12), siswa kelas 1 SD di Banten tewas karena dianiaya
ibunya yang tertekan akibat kesulitan anak memahami pelajaran daring.
Kasus-kasus bunuh diri di tengah pelajar mulai bermunculan akibat stress dan
depresi, yang merupakan efek dari banyaknya tugas dan kurang memadainya
fasilitas pendukung.
Berbagai
keprihatinan yang muncul di dalam masa pembelajaran daring, mendorong
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai kembali pembelajaran tatap muka di
sekolah. Pada 20 November 2020, Nadiem Makarim mengumumkan izin pembelajaran
tatap muka mulai Januari 2021, yang diberikan sejauh situasi dan orang tua
mendukung.
Faktanya,
meningkatnya angka pasien positif Covid-19 di Indonesia menjadikan kebijakan
tersebut kembali mentah. Alasan tersebut pun mendorong cukup banyak orang tua
untuk menolak mengizinkan anaknya pergi ke sekolah.
Pembelajaran
tatap muka ditunda. Para siswa dan guru kembali melakukan kegiatan
belajar-mengajar secara daring. Kembali tidak ada kepastian tanggal
pembelajaran tatap muka di sekolah; baik murid, guru, dan orang tua kembali
bertanya “kapan masuk sekolah lagi?”
Mau Sampai Kapan?
Menghadapi
ketidakpastian yang berkepanjangan, lembaga-lembaga pendidikan diharapkan dapat
terus melanjutkan pendampingan. Bahkan, pendampingan harus diperluas, bukan
hanya di level akademis, melainkan juga dalam hal kesehatan mental.
Mengusahakan
layanan kesehatan mental menjadi tugas yang harus sekolah-sekolah jalankan,
bukan hanya bagi para murid, melainkan juga bagi para guru dan orang tua. Kerja
sama dengan tenaga-tenaga ahli, baik psikolog maupun psikiater, harus
digiatkan. Guru-guru bimbingan konseling dapat ikut serta dengan giat menyapa
para murid bersama keluarga.
Sementara
itu, para murid jangan terus-menerus dibebani tugas-tugas. Para guru hendaknya
juga tidak dituntut untuk menyelesaikan seluruh materi pembelajaran yang
kiranya tidak memungkinkan diselesaikan di luar masa normal.
Sebagai gantinya, pembelajaran yang bersifat kreatif dan rekreatif perlu diselipkan di tengah padatnya kurikulum akademis. Bahkan, orang tua murid juga dapat dilibatkan di dalamnya. Sebagai contoh, dinamika kelompok secara virtual dengan permainan-permainan dapat disertakan sebagai bagian dari kurikulum pada masa pandemi.
Dengan
adanya pembelajaran yang kreatif dan rekreatif, diharapkan emosi mereka yang
terlibat di dalam pembelajaran pun tersalurkan dengan baik, energi positif
kembali terbangun di dalam diri mereka.
Kita
sadar bahwa situasi yang kita hadapi tidaklah mudah. Kerinduan tatap muka,
depresi, serta harap dan cemas bercampur aduk menjadi satu. Oleh karena itu,
hendaknya solusi demi solusi kita upayakan dan bagikan demi kebaikan bersama,
sambil berharap, pertanyaan “kapan masuk sekolah lagi?” akan segera menemukan
jawabannya. []
Image: Canva
0 comments:
Posting Komentar