Rabu, 22 Juli 2020

Pernah Merasakannya

Dahulu...

Sunarsasi tidak habis mengerti dengan cerita cinta perempuan yang dianggap irrasional. Istilah kekiniannya bucin alias budak cinta.

Jalan pikiran Sunarsasi tak mampu menggapai apalagi diajak mencerna sesuatu di luar nalar pikir seorang perempuan yang patuh jatuh cinta pada jalurnya.

Patuh tidak jatuh cinta pada lelaki berpasangan. Patuh untuk tidak memikat lelaki beristri.



Seorang lajang sepatutnya menjalin hubungan kasih dengan sesama lajang.

"Sun, dia lajang juga."

"Benar, dia lajang. Tapi lajang karena perkecualian..."

****

Kenapa?

Bagaimana bisa?

Kayak nggak ada yang lain aja, menjadi pertanyaan yang bergelayut, menanti jawab nan tepat.

"Dosa kuwi!"


Sun... Sun... Janganlah kau naif...

***

Hingga label "perusak" pun dialamatkan kepada perempuan yang mengganggu hidup seseorang yang sungguh, demi Tuhan, atas nama langit dan bumi, tidak boleh dicintai.

Laki-laki itu, apa pun yang terjadi, bukanlah pilihan. Bukan jadi tujuan.

Dia bukanlah sosok yang tepat untuk dijadikan kekasih bahkan pendamping hidup!

"Kenapa harus dia... dia... dia... dia? Toh, di dunia ini, masih banyak lelaki yang lebih pantas ditawari hati ketimbang yang satu ini."

Alasan ketemu jodoh tetap saja tak bisa dibenarkan. Karena cinta apa lagi. Jangan dijadikan tameng memangsa. Malah satu pihak bakal dikatakan tak mampu menguasai diri.

Atau malah keduanya.


***

Itu dulu. Dan terus menjadi pertanyaan.


Pada akhirnya, Tuhan memilih Sunarsasi sendiri untuk menjawab.

Tuhan mengajakku merasakan apa yang orang lain lebih dulu rasakan.

Dijadikannya Sunarsasi sebagai alat atas tanya "kenapa?", "bagaimana bisa?"

"Rasakna dhewe, Ndhuk!"


***

Sekarang...

Ya, kesempatan itu datang sekarang...

Perlahan tapi pasti. Dia persiapkan diriku agar mampu mengeja setiap rasa yang hadir di relung hati lalu terjemahkan menurut kemampuanku.

Apa yang kualami sungguh di luar kuasaku! Tuhan, dengan caranya yang halus, memasukkan rasa itu sedikit demi sedikit.

Mulai dari dosis kecil sampai besar hingga aku tak kuasa menolaknya.

Dengan segenap kelancanganku, kutawarkan hati yang tiada berpenghuni.

GILA!!!

Aku pengin memaki dan mencaci diriku sendiri.

Pengin kutampar pipiku sekeras mungkin agar segera kembali melihat kenyataan.

Dia.... tentu saja dia bukan untukku. Namun, yang terjadi adalah...

DIA BIKIN AKU KETAGIHAN!

Tuhanku Allahku, aku mencarinya

Tuhanku Allahku, aku kelepasan bicara

Tuhanku Allahku, aku tak mampu membendung gelegak rasa yang hanyutkanku padanya.

Tuhanku Allahku, aku menemukan seorang yang buatku nyaman kala berada di dekatnya.

Tuhanku Allahku, aku menginginkannya datang lagi.

Tuhanku Allahku, aku tergoda dengan perlakuannya yang manis, santun, dan bisa diajak bercanda.

Tuhanku Allahku, aku tahu aku berjarak dalam segalanya, tetapi aku ingin selalu melihatnya selagi masih ada di tempat kami pertama bertemu.

Tuhanku Allahku, izinkan aku berjumpa dengannya esok hari sebelum kutinggalkan tempat ini

Tuhanku, inikah yang mereka rasakan?

Tuhanku, betapa aneh pada mulanya. Jiwa ragaku menentangnya sekuat tenaga. Namun, sekuat diriku melawan, jeratnya kian erat.

Buatku sesak, bingung, sekaligus kureaspi dengan penuh kenikmatan. Aku mulai bisa merasakan cinta terlarang

Tuhanku, apakah ini pelajaran dariMu agar ku tak mudah menancapkan sangkaan kejam terhadap sesamaku?

Tuhanku Allahku, rasa macam apakah yang tengah Kauhadirkan di hatiku? Apakah suka cita, emosi berlebih atau cinta yang sesaat?

Tuhanku Allahku, apakah ini sekadar pencobaan dan pengembaraan seorang perempuan yang rumahnya sedang kosong?

Tuhanku Allahku, sampai hari ini aku tak bisa melupakannya.

Aku pun takkuasa menutup pintu agar tak menerima lebih jauh semua ini.

Tuhanku Allahku, akankah Kau pelihara rasa di hatiku selamanya? Selama apa?

Apakah aku harus berbangga hati karna Kaupilih sebagai alat menjawab pertanyaanku sendiri?

Dan mungkin pertanyaan banyak orang di luar sana?

Apakah semua ini untuk menuntunku pada satu kesaksian?

Yogyakarta, 26 Oktober 2015


0 comments:

Posting Komentar