Oleh: Ratri Puspita
Senja merayap gelap ketika kakiku melangkah di jembatan kayu pembelah kolam renang. Disadari atau tidak, tiap kali berdiri di atas jembatan–di manapun, dengan pandangan bebas luas seperti ini, menjadi saat paling pas melepas segala rupa yang buatku lelah. Dari atas jembatan, tampak pantai sejauh mata memandang. Sebaran pepohonan hijau berbatang ramping ditambah udara segar yang bebas dihirup jadikanku tak ingin beranjak dan memilih menikmati hamparan wajah surga yang tak segan memamerkan kemolekannya. Menyambut siapa pun yang datang dan ingin berkelana di tengah alam tropis Bali.
Bagian bawah bajuku bergoyang-goyang seirama semilir angin. Napasku menyesak sendu. Tersengal. Memoriku bergulung ke masa silam, mengembalikan ingatan bahwa dahulu aku pernah menikmati masa-masa indah bersama seseorang yang berhasil mencuri hatiku. Sekadar intermezzo, indah, tetapi meninggalkan sengit yang pahit.
Cinta di masa lalu. Hadir lewat caranya yang takkuduga, pergi dengan cara takkuterka. Sesosok laki-laki–yang sesuai seperti keinginan–hadir menyapaku: setangkai bunga yang muda, cantik, segar, sedang mekar, berwarna cerah, dan tengah bergelora menyambut datangnya cinta pertama. Anjun, begitu ia biasa disapa. Berdarah Jawa tulen, kulit sawo matang, tinggi sekitar 175 sentimeter, rambut dipangkas hingga menyisa satu sentimeter saja, smart, tenang, dan nggak neko-neko. Karakter manusia yang cukup datar, memang. Namun, siapa sangka, dengan kedatarannya, si hidung mancung itu mampu menjadi bintang yang bersinar paling cemerlang. Siapa yang tak mengenal Anjun, hah? Bocah teknik bermasadepan gemilang, idola dosen, digilai setiap mahasiswi, calon menantu pilihan para orang tua.
Cinta di masa lalu. Hadir lewat caranya yang takkuduga, pergi dengan cara takkuterka. Sesosok laki-laki–yang sesuai seperti keinginan–hadir menyapaku: setangkai bunga yang muda, cantik, segar, sedang mekar, berwarna cerah, dan tengah bergelora menyambut datangnya cinta pertama. Anjun, begitu ia biasa disapa. Berdarah Jawa tulen, kulit sawo matang, tinggi sekitar 175 sentimeter, rambut dipangkas hingga menyisa satu sentimeter saja, smart, tenang, dan nggak neko-neko. Karakter manusia yang cukup datar, memang. Namun, siapa sangka, dengan kedatarannya, si hidung mancung itu mampu menjadi bintang yang bersinar paling cemerlang. Siapa yang tak mengenal Anjun, hah? Bocah teknik bermasadepan gemilang, idola dosen, digilai setiap mahasiswi, calon menantu pilihan para orang tua.
Selera orang kadang ajaib. Di antara segenap kelebihannya, Anjun ternyata tidak pandai bercanda, lawakannya garing, tidak bisa memainkan alat musik gitar–bagiku, laki-laki itu kelihatan macho bila bisa dan sedang memainkan gitar, bahkan bukan tipe “cowok banget” yang suka kegiatan adventure. Namun, di mataku, dia manly sangat. I adore him since our first sight – years ago.
***
Begitu lekas waktu merangsek maju. Banyak hal telah terjadi di hidupku. Datang pergi silih berganti. Aku dan Anjun telah mengenal satu sama lain. Meski tidak saban hari bertemu, selalu ada saja moment yang membuat kami berada pada tempat dan waktu yang sama. Kuakui, tiap kali berdekatan dengannya, hatiku meletup-letup tak keruan. Dia mampu menghangatkan hatiku dengan suaranya, tutur katanya yang pelan, dan tatapan matanya yang begitu dalam hingga mataku kelu dibuatnya. Bisa dipastikan, sehabis bertemu dengannya, aku adalah perempuan yang diliputi bahagia teramat sangat. Suatu waktu, lelaki yang membuatku tak menjejak tanah itu membuatku gamang setengah mati. Hingga pada satu titik, aku harus menyadari, aku dan Anjun hanyalah TEMAN.
‘Ku pun menuntut: mengapa hanya teman? Apakah hubungan pertemanan jauh lebih indah bila dibanding dengan hubungan yang lebih mesra? Mengapa Anjun nggak sadar dengan segala yang telah terjadi selama ini? Apakah interaksi demi interaksi yang pernah kami bangun tak mengena sampai ke hati? Aku bukan temanmu, Njun. Seharusnya posisiku bukan di level pertemanan. Saat-saat kita pernah bertumbuk mata, berbagi tawa, saling menguatkan, piknik ramai-ramai, dan jajan di warung penyetan. Ingat, Njun, banyak keindahan yang kita alami: yang kentara maupun tidak. Teramat mahal bila hanya dinilai sebagai teman.
Batinku terus bersitegang dengan kenyataan. Keharuan menyeruak di sela-sela relung batinku. Tapi aku tidak bisa menangis. Entah ke mana perginya air mata itu. Ah, seandainya saja kau bisa lebih menajamkan rasa, Njun… Gunakan hatimu, Njun, jangan cuma memamerkan diri kau mampu dicintai. Belajarlah mencintai, Njun. Sekalipun dibayangi perpisahan, kelak, tangis piluku adalah kebahagiaanku apabila aku pernah menjadi satu-satunya di hatimu, di hidupmu.
Sudahlah! Muak aku memikirkanmu. Rasanya telah berada di titik klimaks.
Menyerah?
***
Printed floral dress dengan batas panjang lima sentimeter di atas lutut berpunggung terbuka membentuk segitiga terbalik, ethnic ankle strap sandal, clutch golden, sepasang anting khas Bali dengan panjang mencapai tengkuk, dan jam tangan rantai emas di pergelangan kiri. Up-to-toe set yang kunilai layak dibawa melangkah menuju lokasi dinner, di salah satu sudut De Opera Beach Club yang kental dengan nuansa natural-tropis-etnik-Bali. Tempat ini membuatku tercengang. Bagaimana tidak, setiap unsur-unsur alam terwakili dan menancap kuat, ditata sedemikian rupa hingga memiliki nilai artistik luar biasa indah: kolam renang raksasa di bagian center dengan jembatan di atasnya; himpunan batu alam, kayu, aneka tanaman hijau; dan tebaran gazebo. Ditambah tata cahaya yang ditempatkan di sudut-sudut pilihan. Tercipta harmoni alam pencipta suasana romantis.
Gambar Pinjam Dari Sini |
Akhirnya bisa juga menjejakkan kaki di Bali setelah berbulan-bulan mengeram dikerubuti aneka pekerjaan yang rasanya tak pernah habis. Moment liburan colongan kumanfaatkan sebaik mungkin demi mengembalikan spirit hidupku. The Bay dan tanah dewata menjadi pilihan yang amat-sangat tepat untuk menghabiskan waktu tiga hari dua malam: main ke pantai, jelajah kuliner, sun bathing, spa, menjajal nail polish, dan bikin tattoo lucu-lucuan. Berenang? Big NO! Berendam? Yes, I will.
Oh, iya, dinner ini masuk ke dalam paket undangan pernikahan Brianna dan Indra. Brianna–sahabatku sejak SMA– pacaran dengan Indra–kawan lamaku waktu SD dan SMP. Esok hari keduanya akan mengikat janji sehidup semati. Takdinyana, dunia begitu sempit. Pesta pernikahan mereka akan diadakan di Hong Xing Club & Resto The Bay sore keesokan hari. Acara dinner lima belas menit lagi. Jangan sampai terlambat.
***
Akhirnya, lunas sudah janjiku kepada Brianna bahwa aku akan mengantarnya menuju fase baru dalam hidupnya: pernikahan. Tak kuasa menahan jatuhnya air mata tatkala melihat sahabat sepermainan seduka sebahagia telah resmi menjadi istri laki-laki yang paling dicintainya. Satu-satunya nama yang melekat di dalam hatinya. Pemberkatan yang khidmat, hanya dihadiri kalangan terbatas, menampilkan nuansa sakral yang begitu kental. Seperti melihat diriku yang akan datang ketika sebuah pemandangan menampilkan pengantin perempuan –mengenakan ball gown satin white-silver berhias bordir dan taburan kristal serta veil bermahkota– menerima cincin dari pengantin lelaki –mengenakan setelan tuksedo abu-abu. Di manapun kelak, kapan akan terjadi, aku pasti akan mengalami apa yang dialami Brianna dan Indra hari ini.
Sore harinya, dalam suasana semi formal, kami berkumpul di outdoor area Hong Xing Club & Resto. Langit Bali begitu ramah menyambut kami, seolah menyampaikan ucapan selamat dan turut berbahagia atas pernikahan kedua mempelai. Pantai, debur ombak yang bertalu-talu, semilir angin yang memainkan rambut, lagu-lagu akustik bertema cinta dari home band, dan sajian lezat menu Asia yang dipresentasikan dengan baik sungguh membuatku lebur dalam suasana yang hangat dan intim.
Gambar Pinjam Dari Sini |
Rasanya kurang seru bila pernikahan tanpa ada acara lempar hand wedding bouquet. Inilah saat yang kutunggu-tunggu: sang MC –yang sedari tadi giat menggoda kedua mempelai– mengumumkan bahwa pengantin perempuan akan melempar hand wedding bouquet-nya. Dipersilakan semua yang lajang atau merasa lajang ikut serta. Well, I join in! Sling back shoes nude nomor 39 segera kulepas. Kuletakkan gelas minuman berembun di atas meja. Bangkit.
Bersama para perempuan senasib tak seperjuangan, aku berdiri di balik punggung Brianna yang telah bersalin baju–mengenakan gaun bateau neckline berbahan satin-lace dengan v-shaped back yang menampakkan garis lekuk tubuhnya yang langsing. Absolutely stunning!
“Saaa…Tuuuuu…Dua…Tiiii…Gaaa!!” teriak sang MC kemudian, diikuti tawa berderai melihat polah tingkah para perempuan bermuka agresif.
Sekitar lima belas orang perempuan, kompak, kedua tangan berusaha menyambut hand wedding bouquet yang dilempar Brianna ke udara. Tak sempat bertukar kata apalagi membagi senyum lantaran dimakan konsentrasi. Kedua mata kami sepakat tertuju pada satu benda yang melayang ke arah kami.
Hopp! Kuraih hand wedding bouquet yang berada tepat di atas kepalaku.
Kumpulan lili putih bertangkai hijau panjang segar kini berpindah tangan. Kutatap penuh takjub hand wedding bouquet berbalut pita putih satin dengan lambang “love” dan abjad “B&I” bordir perak yang saling terhubung di bagian pita yang menjuntai. Kucium benda cantik itu. Tatapanku menerawang jauh.
Lantunan lagu Secret Garden tak lantas buyarkan lamunan liarku, malah menyeretku jauh meninggalkan tempat kuberpijak tanpa alas kaki. Kepalaku mendongak. Kedua mataku menutup perlahan. Kuelus lili putih di dekapan. Aku merasa tengah berada di negeri awan putih. Takkulihat orang-orang yang tengah menikmati pesta. Takkulihat sepasang pengantin berbahagia. Sendiri. Dikelilingi kapas-kapas putih. Tubuh kami saling bersinggungan sehingga bisa kurasakan kelembutannya menyentuh kulitku. Aneh, tak sekalipun aku merasa takut. Sebaliknya, hatiku diliputi damai. Aku merasa sangat berbahagia. Melebihi apa pun.
***
Kupandangi wajah Anjun yang takbanyak berubah. Kuelus setiap lekuk yang membangkitkan gelora cinta di hatiku. Dan dibalasnya dengan tatapan teduh lagi memabukkan. Jarak kami begitu dekat. Mata kami begitu lekat. Sepasang mata yang kucari. Raga yang kumaki. Jiwa yang kusumpahi. Sepercik senyum memesona penawar racun kebencian yang pernah kutenggak dalam dalam. Ternyata, masih ada cinta tersisa. Ia hadir demi pengembaraan yang belum usai. Tak ada yang percuma. Tak ada yang ‘kan terbuang sia-sia. Dan tak ada yang patut disesali.
Hidup ini memang musti dilalui dengan kegilaan dan segala sesuatu yang bersifat spontan. Semesta begitu pandai berahasia. Disimpannya rapat hingga menemui saat yang tepat.
Jembatanku, lihat pada apa yang terjadi padaku hari ini. Taksabar ingin menemuimu kembali. Aku akan bercerita banyak semua yang kualami. Berjanji, akan membawakan oleh-oleh yang ‘kan membuatmu tersenyum.
The Bay Bali, saksi kembalinya cinta yang semula telah dianggap karam. Nusa Dua, pantai, debur ombak, semilir angin, pasir, dan pelukan hangat di tengah sunset.
Kepada seorang lelaki yang tak henti hati ini mencintai
Untuk lili-lili putih yang ingin kudekap erat hingga berlusa hari
Kepada semesta yang ajaib
Kisah ini dipersembahkan
Carmen & Anjun
2014
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
0 comments:
Posting Komentar