"What Keeps Me Going is Goals"
Muhammad Ali
Takkusangka peristiwa hari ini menyeruak begitu saja, menyesak lintasan
kehidupan yang dibangun nyaris 3 dasawarsa. Kaget. Mengapa aku bisa
melakukannya. Kejadian yang dulu, saat ‘ku kecil, beranjak remaja, bahkan mula
pertama bersalin sebagai seorang dewasa tak pernah terpikir sedikit pun. Dan, hari
ini, pena sejarah menggores keras pada kertas hidupku. Dengan mangsi hitam nan pekat.
Menyurat kisah yang bagi orang lain mungkin biasa tapi bagiku luar biasa. Hidup
yang sebelumnya berjalan mulus, perlahan berubah seiring berputarnya roda
kehidupan. Membuatku yang tiada berbekal berpikir sekreatif mungkin guna bisa
bertahan. Demi cita-cita ‘kan menjelma. Hasilnya adalah: 12-5
Semalam. Bukan malam yang menyenangkan. Bukan pula hal yang bersifat
tiba-tiba jika aku berencana di tengah kekalutan yang mendera. Ya, UANG,
membuat seorang aku berpikir sampai ke titik ini. Merombengkan
lembar-demi-lembar pakaian yang telah menutupi tubuhku demi sebuah kehormatan
dan pemenuhan asas kemanusiaan. Pakaian yang telah melengkapi penampilanku
hingga layak berkelana di dunia luar.
Kujumputi helai demi helai. Kedua tanganku begitu trengginas seolah
tiada hirau atas berkecamuknya pikir akibat serpihan histori.
Comot-lempit-comot-lempit. Aku tak kuasa menghentikan keliarannya. Yang bersegera
mengikuti perintah otakku yang dipenuhi hasrat akan uang. Ya, aku butuh
beberapa lembar rupiah saja untuk menetapi khitah manusia. Maka genaplah 12
semua.
Setangkup sayang tiba-tiba menggelayut saat hendak melepas mereka. Biarpun
hanya seonggok pakaian bekas tapi nilai sejarah yang terkandung di dalamnya
begitu kuat mendekap. Namun, panggilan mimpi yang kian lantang bersuara,
menguatkan tekad yang sempat goyah. Mengalahkan kasih sayang, apalagi cerita
masa lalu yang tak ‘kan pernah berulang.
9 Maret 2013. Sabtu yang bergelimang cahaya Sang Surya ketika
kumelangkahkan kaki di pasar Kota Yogyakarta. Pasar yang saban hari selalu
hidup oleh hiruk-pikuk manusia yang bergulat dengan kebutuhan hidup. Termasuk
aku di antara.
Menuruni tangga bis kota, aku nyaris jatuh akibat ujung alas kakiku
menyandung jalanan yang tak rata. Untunglah, keseimbanganku masih di batas
normal. Tapi, pikiranku? melayang bagaikan tak menyentuh alam kesadaran. Gugup.
Ragu. Khawatir. Terhimpun jadi satu.
Demi Engkau yang Kuberi Nama: Cita-cita Photonya Ambil dari Sini |
Rimbunan batik tak lagi memukau di depan mata. Baru kali ini perjalanan
yang biasanya menyenangkan begitu menyesakkan. Bukan kali pertama kurelakan
barang-barang yang ada di rumah diloakkan. Sekedar bersih-bersih biar tidak
jadi sarang tikus atau demi mengail rupiah bila rezeki bulanan nyaris mentok.
Nominal yang tidak besar tapi lumayanlah untuk memenuhi kebutuhan. Khusus hari
ini terasa lain. Ketika kumasuki area pasar dari pintu utama, aku merasa tidak
menjejak bumi sepenuhnya. Mungkin, jika ada orang menatap, dijumpai perempuan bermata
kosong. Aku sadar tapi jiwa dan pikiranku tidak seutuhnya bersamaku. Mereka
telah sampai di tempat yang ingin kutuju, tempat yang masih memerlukan beberapa
waktu untuk mencapainya. Yang menemaniku hanyalah raga dan nyawa. Sebungkus
pakaian yang siap dilego mendekam tenang di dalam tas kresek hitam di
tentengan. Barangkali mereka memahami perasaanku.
Berjalan lurus kuturuti setapak yang ramai. Aku tak peduli. Ingatanku
mengarahkan agar kulekas sampai di tempat tersebut. Aku tak mampu membayangkan
apa yang bakal terjadi kemudian. Aku pun menjadi seorang yang paling senyap di
antara riuh rendah aneka macam keramaian.
Setiba di tempat pemberhentian, kukitari deretan butik sederhana. Tiada
maneken. Tidak ada sorot lampu yang tajam menembak koleksi ragam busana. Tidak
ada hembusan dingin AC yang membuat keringat enggan berlabuh. Tidak ada pula
aroma wewangian yang menguar memenuhi seisi ruang. Apalagi interior mewah. Serba
apa adanya.
Seorang perempuan tiba-tiba mengagetkanku. Seolah mampu membaca tujuan kedatanganku
(apakah di dahiku bertengger tulisan “BU”?), ia berhasil menarikku memasuki ruang
bisnisnya. Dipilah dan dipilih dagangan yang kubawa hari itu. Dan aku hanya
bisa menatap sembari berharap: semoga ada yang laku. Aku ikhlas.
Ternyata daganganku kurang menarik hati. Lemaslah aku. Terbayang
kerugian yang diderita bila tak mampu membawa pulang sepeser pun. Terbayang
pula, usaha apa lagi yang harus kuperbuat. Di tengah kesemrawutan pikir,
keajaiban terjadi. Tiba-tiba ia mau membeli 2 helai. Perdebatan singkat soal
harga mewarnai sebelum akhirnya kulepas dengan harga yang bagiku tak masuk
akal. Tak apalah, yang penting aku punya uang sedikit. Pulang pun dompetku
tidak kosong melompong.
Kuedarkan lagi daganganku dari kios ke kios. Penolakan bahkan suara
yang baru kali ini terdengar yang bikin terkesiap mengisi kotak memoriku. Kuatnya
mimpi buatku gagah melangkah. Terselip optimistik, siapa tahu ada yang mau
membeli. Hingga aku bertemu dengan (lagi-lagi) seorang ibu. Dan lagi-lagi,
daganganku mesti melalui rangkaian seleksi. Si Ibu hanya mau membeli 2 lembar! Aku tak mau
kalah. Dengan pengalaman meloakkan barang di rumah ditambah sejumput pengalaman
yang baru saja diperoleh, aku bernegosiasi. Berhasil! Dia mau menambah beli 1
lagi koleksiku. Tapi… aku gagal mempertahankan harga. Angsuran rupiah tak
seberapa pun kembali kuterima. Menambah pemasukan hari ini. Kujejalkan uang-uang
kumal itu di saku belakang celana jeans biru andalan. (celana ini
mungkin tinggal menunggu saatnya tiba). Di tengah jalan, kupindahkan lembaran kumal
tersebut ke dalam dompet hadiah losion yang takkalah kumalnya lantaran lama
tidak bertemu dengan detergent.
12-5
Itulah hasil berdagangku hari ini. Kuturuni tangga mati menuju pulang.
Di tengahnya, aku sempat membaur untuk menjajakan dagangan yang tersisa. Siapa
tahu ada yang berminat. Ternyata aku harus menelan kecewa. Kedua calon pembeli
taksatu pun yang tertarik. Tak
ada gunanya lebih lama di sini. Waktunya pulang.
Jalanan kota yang panas kususuri. Deretan buku tak ingin kugagahi padahal libidoku sedang tinggi. Jika aku ingin meminangmu, aku tak punya cukup harta untuk mas kawin. Lain kali saja, cukup kita bercumbu. Dan langkah kakiku pun kian menjauh. Lambaian menggodamu tak akan bisa mengusik hatiku. Setidaknya untuk hari ini.
Jalanan kota yang panas kususuri. Deretan buku tak ingin kugagahi padahal libidoku sedang tinggi. Jika aku ingin meminangmu, aku tak punya cukup harta untuk mas kawin. Lain kali saja, cukup kita bercumbu. Dan langkah kakiku pun kian menjauh. Lambaian menggodamu tak akan bisa mengusik hatiku. Setidaknya untuk hari ini.
Sungguh takjub ketika Tuhan melewatkanku di jalan ini. Tak pernah
membayangkan. Pun
berandai-andai. Sekali mengalami, banyak kejutan dirasa. Mungkinkah ‘kan
terulang kembali? Pikirku pun jauh melesat memaknai peristiwa demi peristiwa
hingga kusampai pada detik mengharukan. Aku hanya berharap, akan ada upah yang
setimpal atas usaha nekatku. Menyingkirkan rasa malu demi kobaran mimpi yang
tak akan pernah padam.
Yogyakarta, 9 Maret 2013
0 comments:
Posting Komentar