Permainan masa kecil ini tentulah tak asing lagi: lompat
karet. Saya pernah mengalami fase bermain lompat karet, meski terhitung
sebentar. Entahlah di jaman sekarang. Akhir-akhir ini permainan lompat karet
jarang terlihat oleh mata saya. Anak-anak tetangga saya lebih memilih bersepeda
keliling kampung, bermain bulu tangkis, kejar-kejaran, ngumpul di pos ronda
berbagi cerita dengan teman sebaya atau bermain gawai. Masanya sudah berbeda,
ya? Padahal, saya belajar hal positif dari permainan tersebut lho!
Saya termasuk kelompok yang tidak terlalu pandai bermain
lompat karet. Saya hanya berani melompat bila karet gelangnya masih di posisi
dengkul si pemegang. Bila tali karet telah dinaikkan mencapai dada pemegang, nyali saya sudah
ciut duluan. Nggak pede, takut nyangkut terus diketawain teman, dan tentu saja
takut jatuhlah. Saya nggak yakin bisa, padahal, dicoba saja belum. Nyerah?
Tepatnya setengah menyerah. Dalam permainan lompat karet,
ada istilah "menyumbang". Pemain yang mampu melompati tali karet,
akan "menyumbang" teman-temannya yang tidak bisa melompat. Setelah si
“penyumpang” berhasil lompat, tali karet ditarik ke bawah hingga nyaris atau
menyentuh tanah, lalu “tersumbang” berlompatan melalui tali karet tersebut. Saya, salah seorang yang memanfaatkan jalur "fast track" ini. Menguntungkan. Tak
perlu bersusah payah ambil ancang-ancang dari jauh. Dan permainan berlanjut.
Kebiasaan “disumbang” ternyata berdampak ke karakter saya.
Saat dewasa, saya tumbuh menjadi perempuan penakut, tidak percaya diri,
penunda, dan berpikiran ingin menempuh jalan pintas. Saya menunda mewujudkan
cita-cita hanya karena merasa tidak percaya diri. Saya takut, usaha saya akan menemui kegagalan. Ketika
tekad untuk #BeraniLebih digelorakan ke dalam sanubari, raga ini masih juga
membeku tak beranjak. Ragu, akankah saya bisa seperti yang lain? Apakah
saya mampu mewujudkan cita-cita saya? Tebersit sesal, kenapa harus bercita-cita
melampaui kemampuan?
Belum lama ini, saya, yang terkoneksi dengan teman-teman
masa sekolah dan kuliah lewat situs jejaring sosial, mendapat kejutan bahwa
seorang teman telah touch down di Melbourne, Australia, untuk melanjutkan
pendidikan lewat jalur beasiswa. Makin panjanglah daftar nama teman-teman saya
yang bersekolah di luar negeri.
Wuih, beruntung sekali ya! Iri beud!
Inilah
kejelekanku. Saya hanya bisa menumpahkan rasa iri hati tanpa memperjuangkan
diri agar bisa sejajar dengan mereka. Bukankah kesuksesan akan menyertai orang-orang yang mau berusaha? Berusaha saja? Tidak! Berusaha lebih!
Get up, Ratri! Bangun dan bangkitlah! Jangan menunggu
tangan-tangan ajaib bekerja untukmu jika kau hanya diam! Kalau bercita-cita
ingin sekolah lagi, ambil s2 bahkan s3 sekalian, berusahalah seperti yang teman-temanmu
lakukan! Korea, Belanda, Australia, Singapura, Amerika, Inggris... mereka semua
menanti kedatanganmu. Bukan sebagai pelancong kagetan, melainkan sebagai
pelajar terdidik di salah satu universitas bonafide yang mereka miliki.
Jangan harap dengan mendatangi pameran pendidikan luar
negeri serta merta tanganmu ada yang menggamit, lalu langsung menempatkanmu pada
program studi impianmu. Halo, Ratri... #BeraniLebih-lah dalam membuat lompatan.
Melompatlah lebih tinggi. Buat pencapaian di atas pencapaianmu hari kemarin.
Semua demi masa depan, kebaikan, juga kebahagiaanmu. Renungkan. []
Jumlah kata:
Twitter: @ratweezia
Facebook: Ratri Puspita
0 comments:
Posting Komentar